Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
berkembang pesat dan tantangan masa depan yang semakin kompleks. Karakter warga
negara yang baik merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan
kewarganegaraan di negara-negara mana pun di dunia. Sebagaimana kita ketahui Indonesia
mempunyai potensi untuk berkembang menjadi negara maju. Hal ini bisa ditunjukan
dengan sumber daya alam yang melimpah seperti barang tambang, perikanan,
pertanian, kehutanan. Selain
itu menurut Nashir Muhammad (2013: 1) Indonesia sebagai bangsa dan negara
sangatlah besar dan memiliki sejarah dengan tradisi yang besar (the great tradition). Semua ini semakin
memantapkan bahwa karakter sangat menentukan dalam menentukan pembangunan
bangsa, terutama karakter warga negara yang baik.
Berdasarkan uraian diatas menjadi sangat sangat jelas
bawasanya pendidikan disiapkan guna membangun karakter bangsa. Mengingat bangsa
Indonesia memiliki sumber daya yang unggul oleh sebab itu penting kaitannya
membentuk karakter unggul pula guna mengolah sumber daya tersebut agar mampu
berjalan seimbang dan berkesinambungan. Hal ini relevan dengan apa yang
disampaikan oleh Mahatma Gandhi yakni “kualitas karakter adalah satu-satunya
faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”.
Menjadi sangat relevan jika pembentukan watak warga negara menjadi hal
penting dalam dunia pendidikan termasuk didalamnya anak-anak selaku generasi
penerus bangsa (iron stock). Oleh sebab
itu dapat dikonklusikan bahwa penanaman nilai-nilai karakter merupakan hal yang
penting dalam pembentukan karakter anak sejak dini.
Menurut Kemendiknas (2010) nilai-nilai luhur sebagai
pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, jika
diringkas diantaranya terdiri dari: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. 18 nilai karakter bangsa tersebut setidaknya
mampu terintegrasikan dengan proses pendidikan agar setidaknya mampu memberikan
pemahaman mendalam (deep understanding) guna menetaskan para generasi emas di
masa mendatang.
Namun, apabila kita mencermati perjalanan hidup bangsa
Indonesia beberapa dekade terakhir ini, begitu nampak bahwa tengah terjadi
turbulensi moralitas dalam kehidupan sosial-kultural yang kemudian mengendap
dan menyebabkan sebagian besar dari masyarakat cenderung berpikir apatis dan
pragmatis terhadap permasalahan bangsa. Sebagaimana pendapat Koesman (2009: 2)
menyebutkan bahwa sepuluh tahun sudah bangsa ini dilanda krisis multi dimensi
dan dalam kondisi terpuruk, dan tanpa adanya tanda-tanda ke arah perbaikan.
Dewasa ini kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, konflik suku agama dan ras,
korupsi, pengangguran, serta narkoba, kini tengah dihadapi bangsa Indonesia.
Merujuk pada data terakhir yang dikumpulkan penulis
mengenai krisis multidimensi di Indonesia menunjukan bahwa belum menunjukan
titik terang yang signifikan. Diawali dari data yang di rilis oleh Badan Pusat
Statistik Indonesia menunjukan bahwa profil kemiskinan di Indonesia pada bulan
Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per
bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37
persen). Hal ini tidak terlepas pula dari Tingkat Pengangguran Terbuka di
Indonesia yang pada Februari 2013 mencapai 5,92 %. Kemudian, ditambah lagi
dengan bobroknya moral para birokrasi selaku pihak pemerintah Indonesia, yang
ditunjukan dengan data yang dirilis oleh Transparency International Indonesia
dalam laporan terbarunya pada Selasa (3/12/13) menempatkan posisi Indonesia
dengan skor 32 meraih peringkat 114 dari 177 negara. Disisi lain sebagaimana
data yang dilansir oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) Indonesia termasuk
dalam jajaran negara yang dipersepsikan terkorup, dengan skor IPK 3 dari 10.
Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara, dimana skor tersebut
sejajar dengan Argentina, Djibouti, Gabon, Madgaskar, Malawi, Meksiko,
Suriname, dan Tanzania.
Selain itu, Ilahi (2012: 53) mengungkapkan bahwa generasi
muda saat ini sedang mengalami gelombang traumatis yang cukup pelik. Hal ini
dapat digambarkan dalam sisi faktual dari survey yang dilakukan BKKBN yang
menyebutkan bahwa pada akhir tahun 2008 menyatakan, 63 persen remaja di
beberapa kota besar di Indonesia melakukan seks diluar nikah. Ditambah lagi
data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), pengguna narkoba di tanah air per
April 2013 mencapai 4 juta orang.
Selanjutnya, yang tidak kalah menarik ialah tawuran pelajar sekolah
menjadi potret buram dalam dunia pendidikan Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama bulan Januari sampai September 2012,
kasus tawuran pelajar di wilayah Jabodetabek terus meningkat. Selama Januari
sampai September 2012, kasus tawuran yang terjadi di wilayah Jabodetabek
sebanyak 103 kasus. Ada 48 pelajar luka ringan, 39 luka berat dan 17 meninggal
dunia. Sedangkan tingkat pendidikan pelaku tawuran terdiri dari, SD 2 kasus,
SMP 19 kasus dan tingkat SMU/SMK 28 kasus.
Kemudian, yang paling menarik ialah perkara kejujuran dan
integritas yang dewasa ini semakin langka. Sebagai contoh menurut data, dari
617 kantin kejujuran di kota Bekasi yang diresmikan Wakil jaksa Agung Muchtar
Arifin pada oktober 2008, tinggal 20% saja yang tetap eksis. 80 persen tutup
akibat bangkrut karena ketidakjujuran pembeli.
Kantin kejujuran yang notabene merupakan inovasi baru dalam membudayakan
kejujuran dan integritas dalam kehidupan sehari-hari nampaknya harus “dipaksa”
bangkrut dengan prilaku yang menyimpang dari oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab. Selain itu, prilaku ketidakjujuran dalam dunia akademik belakangan ini
juga semakin merebak misalnya saja plagiarisme dalam bentuk penjiplakan karya
orang lain, perdagangan ijazah dan masih banyak lagi.
Berangkat
dari berbagai fakta dan pernyataan di atas, menunjukan bahwa diperlukan
pembangunan sumber daya manusia secara menyeluruh. Sehingga diperlukan
pemahaman awal mengenai karakter baru bangsa Indonesia. Pemahaman tersebut
diawali dengan pengertian karakter, karakter warga negara, karakteristik warga
negara Indonesia, pengaruh Iptek dalam membentuk karakter baru Indonesia, dan
peran pendidikan kewarganegaraan dalam
membentuk karakter baru Indonesia. Oleh sebab itu, dalam upaya memahami lebih
dalam mengenai pembahasan diatas maka penulis mencoba mengkaji dan mengambil
judul artikel ilmiah: “Karakter Warga Negara Baru Indonesia”.
Selengkapnya Download Disini!
0 komentar:
Posting Komentar