Mereka yang lebih memilih mempertahankan kebaikan di dalam hatinya adalah pemilik kejujuran yang paling mewah. |
Dalam teori politik klasik Montesqieu (1689-1755) membagi
manajemen kekuasaan penyelenggaran negara menjadi tiga ranah yaitu Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif. Legislatif adalah kelompok orang-orang yang mewakili
rakyat yang bertugas untuk membuat Undang-undang. Ekekutif adalah kelompok yang
melaksakan amanah Undang-undang serta membuat turunan untuk memperjelas teknis
pelaksanaan tersebut. Sedangkan Yudikatif adalah kelompok orang-orang atau
badan yang mengawasi jalannya pelaksanaan Undang-undang. Di Indonesia
Legislaitif di pegang oleh Dewan perwakilan Rakyat (DPR), Eksekutif dipegang
oleh Pemerintah dalam hal ini Presiden dan jajaran kabinet sedangkan Yudikatif
dipegang oleh kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain untuk mewujudkan amanah
Undang-Undang Dasar dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa dan
negara.
Membahas Trias Politika dalam konteks ke Indonesiaan adalah
hal yang sangat menarik, karena terjadi tarik ulur dalam memenangkan kekuasaan
masing-masing lembaga. Misalnya DPR tidak dapat dibubarkan, Presiden tidak
dapat diberhentikan dengan sewenang-wenang, meskipun ada pemakzulan itupun
harus melalui keputusan kekuasaan kehakiman terlebih dahulu. Dari ketiga elemen
tersebut hanya dua yang dipilih melalui pemilihan umum yaitu Legislatif dan
Eksekutif. Sedangkan dalam Pemilihan Umum ini pesertanya adalah Partai politik.
Jikalau seseorang hendak menjadi anggota DPR harus melalui partai politik,
begitu pula seorang Presiden harus diusung oleh partai politik dan/atau
gabungan partai politik. Sedangkan hakim-hakim agung diusulkan oleh Presiden
dan dilakukan fit and proper test oleh DPR. Sehingga semuanya
saling berkaitan namun sangat rentan sekali terjadi tarik ulur kepentingan
individu, kelompok maupun golongan.
Korupsi telah menjadi penyakit kronis bagi Negara sekelas Indonesia. Sebelumnya,
Corruption Perception Index (CPI) 2014 yang diterbitkan secara global oleh
Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level
korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117
dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat
korup dan 100 berarti sangat bersih).
Berdasarkan survey Tranparency International tahun 2015 di level ASEAN
Indonesia masih berada di peringkat kelima dari 9 Negara ASEAN yang di survey
atau berada pada peringkat 107 dari 175 Negara (naik 4 tangga dari tahun
sebelumnya), jauh tertinggal dari peringkat pertama negara terbersih di Asia
tenggara yakni Singapura yang berada pada peringkat 7 dari 175 Negara.
Persoalan korupsi yang telah “membabi buta” telah menimpa
ketiga lembaga itu baik di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam kurun
waktu lima tahun terakhir banyak menteri dari kabinet yang terjerat persoalan
korupsi (ada 3 menteri kabinet 2009-2014 masa pemerintahan SBY sebanyak 3
menteri), anggota dewan yang setiap waktu ditangkap komisi anti rasuah (KPK) serta
para hakim nakal yang menjual belikan kasus tak luput dari gurita korupsi.
Berdasarkan
data KPK, pada periode 2004-2015 total ada 39 orang anggota
DPR RI yang terjerat komisi antirasuah itu. Angka itu keempat terbanyak setelah
kasus yang melibatkan pejabat di lingkungan Kementerian/Lembaga (139 kasus),
pejabat di tingkat Pemkot/Pemkab (101), dan di tingkat pemerintah provinsi
(59). Data ini belum termasuk kasus-kasus yang belum inkrah
dimana proses hukum masih berjalan. Berdasarkan data
Kementerian Dalam Negeri, sampai februari
2015 ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum
baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. Pada Lembaga Yudikatif misalanya Ketua MK (pada saat
itu) tertangkap tangan menerima suap berkaitan dengan kasus pilkada, kemudian
hakim ad hoc pengadilan tipikor yang beberapa kali terjerat kasus korupsi,
hakim ptun yang menerima suap yang mengkhianati marwah penegakan hukum, belum
lagi penegak hukum yang lain seperti kepolisian yang pernah meyumbangkan nama
Djoko Susilo, Kejaksaan, misal sebut saja jaksa Oerip Tri Gunawan jaksa nakal
lainnya, dan Advokat macam Oc. Kaligis.
Paparan data-data tersebut kiranya pantas untuk
menyebutkan bahwa korupsi telah mendarah daging menjadi penyakit dikalangan
pejabat nakal.Melihat fenomena ini rasanya negeri ini di ambang darurat korupsi
sampai-sampai tingkat kepercayaan publik terhadap ketiga lembaga ini semakin
hari semakin menurun. Trias Politika Indonesia yang mengkhususkan pada Division of Power bukan Spararation of Power telah benar-benar
digerogoti penyakit akut bernama korupsi.
Kegusaran itu lantas menarik kita semua seolah-olah
negeri ini bukan lagi menjadi Trias Politika yang membawa pada kepentingan
rakyat, namun telah menyebrang pada pembentukan arah baru bernama Trias
Koruptika. Karena korupsi telah menjalar ke semua badan kenegaraan yang secara
perlahan mendustai amanah rakyat. Mereka bekerja bukan untuk kepentingan bangsa
dan negara tetapi untuk mengenyangkan perut sendiri, mengisi dengan uang
rakyat, menyumpal dengan sogokan dan gratifikasi serta mencuci mulut dengan
menyelewengkan tugas dan wewenang. Kasus demi kasus yang selama ini muncul
seolah bangsa ini sedang dalam sakit yang semakin parah. Menteri, Anggota Dewan
bahkan sampai Hakim yang notabene wakil Tuhan di Dunia telah menguatkan bahwa
Trias Politika kini menjadi landasan dalam menyelenggarakan ketatanegaraan yang
hanya digunakan untuk kepentingan kelompoknya.
Mari kita telaah sedikit lebih jauh mengapa hal itu mudah
terjadi menyerang para politisi-politisi sehingga mereka mendekam di “hotel
prodeo”. Diawali dengan proyek-proyek bergelimangan yang harus melewati lembaga
eksekutif dan legislatif yang menyebabkan tergiur karena dengan “restu”
berselimut tugas dan wewenang yang mereka miliki. Sehingga para pelaku usaha
tidak mau dipersulit dengan regulasi yang berbelit-belit, yah salah satunya
dengan memberi pelicin, uang sogokan sampai gratifikasi sehingga semuanya
menjadi lancar. Dan ketika mereka terjebak kasuspun mereka tak segan untuk menyuap
oknum hakim nakal agar hukumannya bisa serendah-rendahnya bahkan kalau bisa
divonis bebas. Contoh lain korupi yang melibatkan hakim dalam penanganan kasus
sengketa pilkada yang ini justru rawan sekali, dimana tangan-tangan jahil
selalu bermain dibelakang mereka untuk memainkan peran kepura-puraan bertindak
adil. Untuk para politisi misalnya untuk meraih kursi anggota dewan saja
dibutuhkan modal milyaran sehingga yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan
uang yang telah dikeluarkan. Dengan asumsi dasar seperti ini rasanya wajar
kalau anggota dewan ingin mendapatkan modal kembali dengan jalur cepat.
Trias Politika melawan Trias Koruptika adalah suatu
kondisi yang sedang kita alami di nusantara ini baik diajajaran pusat mapaun
daerah. Dari Menteri kabinet sampai kepala dinas, dari Anggota Dewan di pusat
sampai Anggota dewan di daerah, dari hakim di pusat kekuasaan kehakiman di
pengadilan tingkat akhir sampai hakim di pengadilan tingkat pertama. Semua ini
seperti jamur dimusim penghujan yang terus tumbuh subur, seperti pemeo “mati
satu tumbuh seribu”. Lihatlah wajah-wajah mereka para pejabat korup tikus
berdasi selalu menampakan senyum termanisnya ketika “rompi orange” khas tahanan
KPK merekan kenakan. Seolah bangga bahwa yang memakai rompi itu hanya orang-orang
besar yang amat sangat berani berkhianat terhadap amanah yang telah diberikan.
Realitas politik yang kita hadapi saat ini tidak
dipungkiri menjadi salah satu penyebab fenomena trias koruptika. Jangankan
bicara money politik, secara kalkulasi cost
politik saja mahal. Untuk menjadi anggota dewan di tingkat daerah, harus
mengeluarkan biaya hingga ratusan juta sedangakan di tingkat pusat milyaran
rupiah harus keluar dari kantong-kantong mereka yang maju dalam pesta
demokrasi. Biaya politik yang mahal itu dapat dirinci mulai dari proses pra
kampanye, pembuatan souvenir, kaos hingga pengeluaran yang dilakukan untuk
akomodasi ke daerah pemilihan. Inilah sistem dimana bukan sembarang orang yang
bisa maju dan menang dalam pertempuran politik yang begitu liberal ini. Tidak
cukup hanya memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam berpolitik melainkan
membutuhkan sumberdaya finansial yang memadai. Sehingga yang terjadi saat ini
anggota dewan mayoritas di isi oleh orang-orang dengan latar belakang
pengusaha, yang memiliki kemampuan ekonomi untuk mendulang suara. Jarang sekali
kita dapat menemukan para akademis, praktisi yang menjadi anggota dewan yang
secara kalkulasi keuangan memiliki kemampuan yang “pas-pasan”, kalaupun ada
rasionya sedikit sekali.
Sempalan dalil Lord Acton (1837-1902) mengatakan bahwa power tend to corupt, absolute power corrupt absolutely, yah
begitulah adanya nampaknya kekuasaan memang cenderung diselewengkan, karena
ketika seorang berada dalam tapuk keuasaan dia bisa melakukan apapun baik untuk
kebaikan bahkan sangat terbuka untuk menguntungkan pribadi dan golongannya.
Manusia secara kodrati memang tidak pernah puas dalam hal keduniawian dan
jabatan. Andaikan diberi motor ingin memiliki mobil, diberi mobil ingin
memiliki kapal, diberi kapal ingin punya pesawat bahkan jika ia diberi bumi
mungkin saja dia menginginkan tata surya, galaksi sampai jagat raya sehingga
yang terjadi adalah keserakahan. Begitupun dalam konteks kekuasaan setelah jadi
camat menginginkan jadi bupati, setelah jadi bupati hendak jadi gubernur dan
sudah jadi gubernurpun masih berharap jadi menteri maupun Presiden. Dalam
keadaan demikian manusia mudah sekali terjebak dalam situasi untuk melakukan
segala cara baik yang legal maupun ilegal untuk memuaskan syahwat politiknya.
Kekuasan yang melekat dalam konsep trias politika adalah
kekuasan yang memiliki kewenangan, secara hakiki untuk mewujudkan tujuan dan
cita-cita bangsa yang luhur. Membuat segala regulasi, melaksanakannya, kemudian
mengevaluasi apabila terjadi penyelewengan yang merupakan bentuk nyata untuk
mewujudkan kesejahteraan bangsa. Hakikatnya orang-orang yang mengisi dalam
kekuasaan trias politiaka semestinya adalah orang-orang yang tidak lagi
memikirkan soal duniawi, karena tugas mereka begitu mulia yakni mewakili
rakyat, melayani rakyat dan berpihak pada kepentingan rakyat. Bukan orang yang
mencari gengsi, meningkatkan status sosial apalagi sampai mencari penghidupan.
Lembaga-lembaga itu adalah tempat mengabdi, mengorbankan diri untuk kepentingan
banyak orang. Bukan diisi oleh orang yang sibuk sendiri, tidak mengerti kemauan
rakyat atau abai terhadap aspirasi rakyat, sehingga yang terjadi adalah
kejahatan kolektif sampai korupsi berjamaah.
Marwah lembaga dalam konteks Trias Politika harus dijaga
kesuciannya mengingat perannya yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Khususnya dalam bidang politik, itu
telah mengatur segala sendi kehidupan dari mulai bangun tidur sampai tidur
lagi. Rakyat memang tidak boleh buta politik karena sebagai elemen yang diatur
di dalamnya, tetapi sebagai rakyat kita tentu mengingingkan suasana poliik yang
kondusif, bersih dan mengarah pada peningkatan kesejahteraan banyak orang.
Bukan disuguhkan dagelan-dagelan para pejabat negara yang saling
gontok-gontokan demi kepentingan kelompoknya.
Mendewasakan pemikiran, mengolah pemikiran dan saling
berpendapat secara sehat selama itu unuk kepentingan rakyat maka kami akan mendorongnya.
Produk-produk hukum, paket kebijakan dan rasa keadilan yang pro terhadap
peningkatan kesejahteraann adalah bagian yang senantiasa kita harapkan. Untuk
mengembalikan marwah itu memang dibutuhkan komitmen bersama bukan dari
individu.
Seleksi untuk mencalonkan diri yang dilakukan oleh partai politik semestinya harus begitu ketat untuk mendapatakn jejak rekam, integritas dan segala hal yang menyatakan bahwa seorang calon itu benar-benar layak duduk di kursi legislatif taupun kursi ekskutif. Dan untuk para pengisi kekuasaan kehakiman ingalah bahwa kalian adalah wakil Tuhan di Dunia, sungguh profesi yang sangat mulia namun juga banyak bujuk rayu yang selalu berkeliaran didepan mata, maka penguatan integritas calon hakim harus dilakukan secara selektif, mampu memahami keadaan serta memiliki komitmen kuat untuk menegakan keadilan di bumi Indonesia ini. Dengan demikian bukan tidak mungkin Trias Koruptika hanya menjadi mitos dalam Trias Politika. KLIK SELENGKAPNYA DISINI!
0 komentar:
Posting Komentar