Senin, 18 Januari 2016

Mereka yang lebih memilih mempertahankan kebaikan di dalam hatinya adalah pemilik kejujuran yang paling mewah.
Dalam teori politik klasik Montesqieu (1689-1755) membagi manajemen kekuasaan penyelenggaran negara menjadi tiga ranah yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Legislatif adalah kelompok orang-orang yang mewakili rakyat yang bertugas untuk membuat Undang-undang. Ekekutif adalah kelompok yang melaksakan amanah Undang-undang serta membuat turunan untuk memperjelas teknis pelaksanaan tersebut. Sedangkan Yudikatif adalah kelompok orang-orang atau badan yang mengawasi jalannya pelaksanaan Undang-undang. Di Indonesia Legislaitif di pegang oleh Dewan perwakilan Rakyat (DPR), Eksekutif dipegang oleh Pemerintah dalam hal ini Presiden dan jajaran kabinet sedangkan Yudikatif dipegang oleh kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain untuk mewujudkan amanah Undang-Undang Dasar dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa dan negara.
Membahas Trias Politika dalam konteks ke Indonesiaan adalah hal yang sangat menarik, karena terjadi tarik ulur dalam memenangkan kekuasaan masing-masing lembaga. Misalnya DPR tidak dapat dibubarkan, Presiden tidak dapat diberhentikan dengan sewenang-wenang, meskipun ada pemakzulan itupun harus melalui keputusan kekuasaan kehakiman terlebih dahulu. Dari ketiga elemen tersebut hanya dua yang dipilih melalui pemilihan umum yaitu Legislatif dan Eksekutif. Sedangkan dalam Pemilihan Umum ini pesertanya adalah Partai politik. Jikalau seseorang hendak menjadi anggota DPR harus melalui partai politik, begitu pula seorang Presiden harus diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik. Sedangkan hakim-hakim agung diusulkan oleh Presiden dan dilakukan fit and  proper test oleh DPR. Sehingga semuanya saling berkaitan namun sangat rentan sekali terjadi tarik ulur kepentingan individu, kelompok maupun golongan.

Korupsi telah menjadi penyakit kronis bagi  Negara sekelas Indonesia. Sebelumnya, Corruption Perception Index (CPI) 2014 yang diterbitkan secara global oleh Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). Berdasarkan survey Tranparency International tahun 2015 di level ASEAN Indonesia masih berada di peringkat kelima dari 9 Negara ASEAN yang di survey atau berada pada peringkat 107 dari 175 Negara (naik 4 tangga dari tahun sebelumnya), jauh tertinggal dari peringkat pertama negara terbersih di Asia tenggara yakni Singapura yang berada pada peringkat 7 dari 175 Negara.

Persoalan korupsi yang telah “membabi buta” telah menimpa ketiga lembaga itu baik di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir banyak menteri dari kabinet yang terjerat persoalan korupsi (ada 3 menteri kabinet 2009-2014 masa pemerintahan SBY sebanyak 3 menteri), anggota dewan yang setiap waktu ditangkap komisi anti rasuah (KPK) serta para hakim nakal yang menjual belikan kasus tak luput dari gurita korupsi.

Berdasarkan data KPK, pada periode 2004-2015 total ada 39 orang anggota DPR RI yang terjerat komisi antirasuah itu. Angka itu keempat terbanyak setelah kasus yang melibatkan pejabat di lingkungan Kementerian/Lembaga (139 kasus), pejabat di tingkat Pemkot/Pemkab (101), dan di tingkat pemerintah provinsi (59). Data ini belum termasuk kasus-kasus yang belum inkrah dimana proses hukum masih berjalan. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, sampai februari 2015 ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. Pada Lembaga Yudikatif misalanya Ketua MK (pada saat itu) tertangkap tangan menerima suap berkaitan dengan kasus pilkada, kemudian hakim ad hoc pengadilan tipikor yang beberapa kali terjerat kasus korupsi, hakim ptun yang menerima suap yang mengkhianati marwah penegakan hukum, belum lagi penegak hukum yang lain seperti kepolisian yang pernah meyumbangkan nama Djoko Susilo, Kejaksaan, misal sebut saja jaksa Oerip Tri Gunawan jaksa nakal lainnya, dan Advokat macam Oc. Kaligis.  

Paparan data-data tersebut kiranya pantas untuk menyebutkan bahwa korupsi telah mendarah daging menjadi penyakit dikalangan pejabat nakal.Melihat fenomena ini rasanya negeri ini di ambang darurat korupsi sampai-sampai tingkat kepercayaan publik terhadap ketiga lembaga ini semakin hari semakin menurun. Trias Politika Indonesia yang mengkhususkan pada Division of Power bukan Spararation of Power telah benar-benar digerogoti penyakit akut bernama korupsi.

Kegusaran itu lantas menarik kita semua seolah-olah negeri ini bukan lagi menjadi Trias Politika yang membawa pada kepentingan rakyat, namun telah menyebrang pada pembentukan arah baru bernama Trias Koruptika. Karena korupsi telah menjalar ke semua badan kenegaraan yang secara perlahan mendustai amanah rakyat. Mereka bekerja bukan untuk kepentingan bangsa dan negara tetapi untuk mengenyangkan perut sendiri, mengisi dengan uang rakyat, menyumpal dengan sogokan dan gratifikasi serta mencuci mulut dengan menyelewengkan tugas dan wewenang. Kasus demi kasus yang selama ini muncul seolah bangsa ini sedang dalam sakit yang semakin parah. Menteri, Anggota Dewan bahkan sampai Hakim yang notabene wakil Tuhan di Dunia telah menguatkan bahwa Trias Politika kini menjadi landasan dalam menyelenggarakan ketatanegaraan yang hanya digunakan untuk kepentingan kelompoknya.

Mari kita telaah sedikit lebih jauh mengapa hal itu mudah terjadi menyerang para politisi-politisi sehingga mereka mendekam di “hotel prodeo”. Diawali dengan proyek-proyek bergelimangan yang harus melewati lembaga eksekutif dan legislatif yang menyebabkan tergiur karena dengan “restu” berselimut tugas dan wewenang yang mereka miliki. Sehingga para pelaku usaha tidak mau dipersulit dengan regulasi yang berbelit-belit, yah salah satunya dengan memberi pelicin, uang sogokan sampai gratifikasi sehingga semuanya menjadi lancar. Dan ketika mereka terjebak kasuspun mereka tak segan untuk menyuap oknum hakim nakal agar hukumannya bisa serendah-rendahnya bahkan kalau bisa divonis bebas. Contoh lain korupi yang melibatkan hakim dalam penanganan kasus sengketa pilkada yang ini justru rawan sekali, dimana tangan-tangan jahil selalu bermain dibelakang mereka untuk memainkan peran kepura-puraan bertindak adil. Untuk para politisi misalnya untuk meraih kursi anggota dewan saja dibutuhkan modal milyaran sehingga yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Dengan asumsi dasar seperti ini rasanya wajar kalau anggota dewan ingin mendapatkan modal kembali dengan jalur cepat.

Trias Politika melawan Trias Koruptika adalah suatu kondisi yang sedang kita alami di nusantara ini baik diajajaran pusat mapaun daerah. Dari Menteri kabinet sampai kepala dinas, dari Anggota Dewan di pusat sampai Anggota dewan di daerah, dari hakim di pusat kekuasaan kehakiman di pengadilan tingkat akhir sampai hakim di pengadilan tingkat pertama. Semua ini seperti jamur dimusim penghujan yang terus tumbuh subur, seperti pemeo “mati satu tumbuh seribu”. Lihatlah wajah-wajah mereka para pejabat korup tikus berdasi selalu menampakan senyum termanisnya ketika “rompi orange” khas tahanan KPK merekan kenakan. Seolah bangga bahwa yang memakai rompi itu hanya orang-orang besar yang amat sangat berani berkhianat terhadap amanah yang telah diberikan.

Realitas politik yang kita hadapi saat ini tidak dipungkiri menjadi salah satu penyebab fenomena trias koruptika. Jangankan bicara money politik, secara kalkulasi cost politik saja mahal. Untuk menjadi anggota dewan di tingkat daerah, harus mengeluarkan biaya hingga ratusan juta sedangakan di tingkat pusat milyaran rupiah harus keluar dari kantong-kantong mereka yang maju dalam pesta demokrasi. Biaya politik yang mahal itu dapat dirinci mulai dari proses pra kampanye, pembuatan souvenir, kaos hingga pengeluaran yang dilakukan untuk akomodasi ke daerah pemilihan. Inilah sistem dimana bukan sembarang orang yang bisa maju dan menang dalam pertempuran politik yang begitu liberal ini. Tidak cukup hanya memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam berpolitik melainkan membutuhkan sumberdaya finansial yang memadai. Sehingga yang terjadi saat ini anggota dewan mayoritas di isi oleh orang-orang dengan latar belakang pengusaha, yang memiliki kemampuan ekonomi untuk mendulang suara. Jarang sekali kita dapat menemukan para akademis, praktisi yang menjadi anggota dewan yang secara kalkulasi keuangan memiliki kemampuan yang “pas-pasan”, kalaupun ada rasionya sedikit sekali.

Sempalan dalil Lord Acton (1837-1902) mengatakan bahwa power tend to corupt, absolute power corrupt absolutely, yah begitulah adanya nampaknya kekuasaan memang cenderung diselewengkan, karena ketika seorang berada dalam tapuk keuasaan dia bisa melakukan apapun baik untuk kebaikan bahkan sangat terbuka untuk menguntungkan pribadi dan golongannya. Manusia secara kodrati memang tidak pernah puas dalam hal keduniawian dan jabatan. Andaikan diberi motor ingin memiliki mobil, diberi mobil ingin memiliki kapal, diberi kapal ingin punya pesawat bahkan jika ia diberi bumi mungkin saja dia menginginkan tata surya, galaksi sampai jagat raya sehingga yang terjadi adalah keserakahan. Begitupun dalam konteks kekuasaan setelah jadi camat menginginkan jadi bupati, setelah jadi bupati hendak jadi gubernur dan sudah jadi gubernurpun masih berharap jadi menteri maupun Presiden. Dalam keadaan demikian manusia mudah sekali terjebak dalam situasi untuk melakukan segala cara baik yang legal maupun ilegal untuk memuaskan syahwat politiknya.
Kekuasan yang melekat dalam konsep trias politika adalah kekuasan yang memiliki kewenangan, secara hakiki untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa yang luhur. Membuat segala regulasi, melaksanakannya, kemudian mengevaluasi apabila terjadi penyelewengan yang merupakan bentuk nyata untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa. Hakikatnya orang-orang yang mengisi dalam kekuasaan trias politiaka semestinya adalah orang-orang yang tidak lagi memikirkan soal duniawi, karena tugas mereka begitu mulia yakni mewakili rakyat, melayani rakyat dan berpihak pada kepentingan rakyat. Bukan orang yang mencari gengsi, meningkatkan status sosial apalagi sampai mencari penghidupan. Lembaga-lembaga itu adalah tempat mengabdi, mengorbankan diri untuk kepentingan banyak orang. Bukan diisi oleh orang yang sibuk sendiri, tidak mengerti kemauan rakyat atau abai terhadap aspirasi rakyat, sehingga yang terjadi adalah kejahatan kolektif sampai korupsi berjamaah.

Marwah lembaga dalam konteks Trias Politika harus dijaga kesuciannya mengingat perannya yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Khususnya dalam bidang politik, itu telah mengatur segala sendi kehidupan dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Rakyat memang tidak boleh buta politik karena sebagai elemen yang diatur di dalamnya, tetapi sebagai rakyat kita tentu mengingingkan suasana poliik yang kondusif, bersih dan mengarah pada peningkatan kesejahteraan banyak orang. Bukan disuguhkan dagelan-dagelan para pejabat negara yang saling gontok-gontokan demi kepentingan kelompoknya.

Mendewasakan pemikiran, mengolah pemikiran dan saling berpendapat secara sehat selama itu unuk kepentingan rakyat maka kami akan mendorongnya. Produk-produk hukum, paket kebijakan dan rasa keadilan yang pro terhadap peningkatan kesejahteraann adalah bagian yang senantiasa kita harapkan. Untuk mengembalikan marwah itu memang dibutuhkan komitmen bersama bukan dari individu. 

Seleksi untuk mencalonkan diri yang dilakukan oleh partai politik semestinya harus begitu ketat untuk mendapatakn jejak rekam, integritas dan segala hal yang menyatakan bahwa seorang calon itu benar-benar layak duduk di kursi legislatif taupun kursi ekskutif. Dan untuk para pengisi kekuasaan kehakiman ingalah bahwa kalian adalah wakil Tuhan di Dunia, sungguh profesi yang sangat mulia namun juga banyak bujuk rayu yang selalu berkeliaran didepan mata, maka penguatan integritas calon hakim harus dilakukan secara selektif, mampu memahami keadaan serta memiliki komitmen kuat untuk menegakan keadilan di bumi Indonesia ini. Dengan demikian bukan tidak mungkin Trias Koruptika hanya menjadi mitos dalam Trias Politika.  KLIK SELENGKAPNYA DISINI! 
 

0 komentar: