Jumat, 01 Januari 2016

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat dan tantangan masa depan yang semakin kompleks. Karakter warga negara yang baik merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara mana pun di dunia. Sebagaimana kita ketahui Indonesia mempunyai potensi untuk berkembang menjadi negara maju. Hal ini bisa ditunjukan dengan sumber daya alam yang melimpah seperti barang tambang, perikanan, pertanian, kehutanan. Selain itu menurut Nashir Muhammad (2013: 1) Indonesia sebagai bangsa dan negara sangatlah besar dan memiliki sejarah dengan tradisi yang besar (the great tradition). Semua ini semakin memantapkan bahwa karakter sangat menentukan dalam menentukan pembangunan bangsa, terutama karakter warga negara yang baik.

Berdasarkan uraian diatas menjadi sangat sangat jelas bawasanya pendidikan disiapkan guna membangun karakter bangsa. Mengingat bangsa Indonesia memiliki sumber daya yang unggul oleh sebab itu penting kaitannya membentuk karakter unggul pula guna mengolah sumber daya tersebut agar mampu berjalan seimbang dan berkesinambungan. Hal ini relevan dengan apa yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi yakni “kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”.  Menjadi sangat relevan jika pembentukan watak warga negara menjadi hal penting dalam dunia pendidikan termasuk didalamnya anak-anak selaku generasi penerus bangsa (iron stock).  Oleh sebab itu dapat dikonklusikan bahwa penanaman nilai-nilai karakter merupakan hal yang penting dalam pembentukan karakter anak sejak dini.

Menurut Kemendiknas (2010) nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, jika diringkas diantaranya terdiri dari: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.  18 nilai karakter bangsa tersebut setidaknya mampu terintegrasikan dengan proses pendidikan agar setidaknya mampu memberikan pemahaman mendalam (deep understanding) guna menetaskan para generasi emas di masa mendatang.

Namun, apabila kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia beberapa dekade terakhir ini, begitu nampak bahwa tengah terjadi turbulensi moralitas dalam kehidupan sosial-kultural yang kemudian mengendap dan menyebabkan sebagian besar dari masyarakat cenderung berpikir apatis dan pragmatis terhadap permasalahan bangsa. Sebagaimana pendapat Koesman (2009: 2) menyebutkan bahwa sepuluh tahun sudah bangsa ini dilanda krisis multi dimensi dan dalam kondisi terpuruk, dan tanpa adanya tanda-tanda ke arah perbaikan. Dewasa ini kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, konflik suku agama dan ras, korupsi, pengangguran, serta narkoba, kini tengah dihadapi bangsa Indonesia.

Merujuk pada data terakhir yang dikumpulkan penulis mengenai krisis multidimensi di Indonesia menunjukan bahwa belum menunjukan titik terang yang signifikan. Diawali dari data yang di rilis oleh Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukan bahwa profil kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37 persen). Hal ini tidak terlepas pula dari Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia yang pada Februari 2013 mencapai 5,92 %. Kemudian, ditambah lagi dengan bobroknya moral para birokrasi selaku pihak pemerintah Indonesia, yang ditunjukan dengan data yang dirilis oleh Transparency International Indonesia dalam laporan terbarunya pada Selasa (3/12/13) menempatkan posisi Indonesia dengan skor 32 meraih peringkat 114 dari 177 negara. Disisi lain sebagaimana data yang dilansir oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) Indonesia termasuk dalam jajaran negara yang dipersepsikan terkorup, dengan skor IPK 3 dari 10. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara, dimana skor tersebut sejajar dengan Argentina, Djibouti, Gabon, Madgaskar, Malawi, Meksiko, Suriname, dan Tanzania.

Selain itu, Ilahi (2012: 53) mengungkapkan bahwa generasi muda saat ini sedang mengalami gelombang traumatis yang cukup pelik. Hal ini dapat digambarkan dalam sisi faktual dari survey yang dilakukan BKKBN yang menyebutkan bahwa pada akhir tahun 2008 menyatakan, 63 persen remaja di beberapa kota besar di Indonesia melakukan seks diluar nikah. Ditambah lagi data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), pengguna narkoba di tanah air per April 2013 mencapai 4 juta orang.  Selanjutnya, yang tidak kalah menarik ialah tawuran pelajar sekolah menjadi potret buram dalam dunia pendidikan Indonesia.  Berdasarkan data yang dikeluarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama bulan Januari sampai September 2012, kasus tawuran pelajar di wilayah Jabodetabek terus meningkat. Selama Januari sampai September 2012, kasus tawuran yang terjadi di wilayah Jabodetabek sebanyak 103 kasus. Ada 48 pelajar luka ringan, 39 luka berat dan 17 meninggal dunia. Sedangkan tingkat pendidikan pelaku tawuran terdiri dari, SD 2 kasus, SMP 19 kasus dan tingkat SMU/SMK 28 kasus.

Kemudian, yang paling menarik ialah perkara kejujuran dan integritas yang dewasa ini semakin langka. Sebagai contoh menurut data, dari 617 kantin kejujuran di kota Bekasi yang diresmikan Wakil jaksa Agung Muchtar Arifin pada oktober 2008, tinggal 20% saja yang tetap eksis. 80 persen tutup akibat bangkrut karena ketidakjujuran pembeli.  Kantin kejujuran yang notabene merupakan inovasi baru dalam membudayakan kejujuran dan integritas dalam kehidupan sehari-hari nampaknya harus “dipaksa” bangkrut dengan prilaku yang menyimpang dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, prilaku ketidakjujuran dalam dunia akademik belakangan ini juga semakin merebak misalnya saja plagiarisme dalam bentuk penjiplakan karya orang lain, perdagangan ijazah dan masih banyak lagi.       

Berangkat dari berbagai fakta dan pernyataan di atas, menunjukan bahwa diperlukan pembangunan sumber daya manusia secara menyeluruh. Sehingga diperlukan pemahaman awal mengenai karakter baru bangsa Indonesia. Pemahaman tersebut diawali dengan pengertian karakter, karakter warga negara, karakteristik warga negara Indonesia, pengaruh Iptek dalam membentuk karakter baru Indonesia, dan peran  pendidikan kewarganegaraan dalam membentuk karakter baru Indonesia. Oleh sebab itu, dalam upaya memahami lebih dalam mengenai pembahasan diatas maka penulis mencoba mengkaji dan mengambil judul artikel ilmiah: “Karakter Warga Negara Baru Indonesia”
Selengkapnya Download Disini!

0 komentar: