Senin, 18 Januari 2016

Gambar. diambil dalam Acara Pelangi Ramadhan Hima PKn 2014

Bangsa Indonesia dengan kekhasan struktur budayanya telah terdiferensiasi kedalam subkultur yang sangat kompleks. Keadaan yang demikian menjadikan pandangan kebhinekaan sebagai anugerah Tuhan, menjadi kunci persatuan dan kerukunan diantara perbedaan. Gerakan  toleransi untuk saling memahami, menghormati dan menghargai diantara perbedaan adalah keniscayaan yang harus dikedepankan, agar senantiasa stabilitas kehidupan bermasyarakat dapat terjaga. Menghindarkan diri dari pengkotak-kotakan dengan dalih pembenaran ego adalah hal yang wajib hukumnya dilakukan bagi individu, kelompok yang merasa dirinya bangsa Indonesia seutuhnya.

Indonesia adalah bangsa yang religius, sejak ratusan tahun yang lalu di zaman kerajaan, sebelum datang agama-agama samawi maupun duniawi, bangsa ini telah memiliki kepercayaan berupa animisme dan dinamisme, yang kemudian seiring berjalannya waktu masuklah agama dari luar, dimulai dari Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katholik sampai Konghucu. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pun telah menjamin setiap orang untuk memeluk Agama sesuai dengan kepercayaannya, artinya bahwa Negara hadir dalam menjamin hak yang tergolong “non derogable right” tersebut.

Dalam satu dekade ini negeri ini sedang diguncang aksi dan isu terorisme, konflik SARA yang mengatasanamakan agama sebagai alasan pembenar, menyalahkan yang bukan golongannya bahkan dengan mudah mengkafirkan bagi orang-orang yang tidak seagama maupun yang seagama tetapi beda mahzab, beda imam atau bahkan dianggap beda nabi. Pandangan yang demikian yang memicu gerakan-gerakan radikal, yang bagi mereka sulit menerima perbedaan dan tipis akan pemahaman tolerasi. Maka dari pada itu dibutuhkan suatu tindakan pencerdasan yang menjadikan agama tidak hanya bersifat ritual ibadah saja, tetapi secara subtantif menjadi landasan dalam bersosial. Sehingga beragama bukan hanya soal ritual keagamaan, tetapi bagaimana membangun bangunan sosial dengan masyarakat dan lingkungan dalam bingkai kontruksi sosial religius.

Konstruksi sosial Religius mengambil hubungan antara kontruksi relitas sosial dan hubungan religius. Konsrtruksi realitas Sosial (Berger:2012) menyebutkan “manusia dalam Masyarakat”(man in society) dan “masyarakat dalam manusia”(society in man), artinya keduanya saling membutuhkan dan saling memengaruhi. Gagasan manusia dalam masyarakat, menjelaskan bahwa manusia ialah bagian dari masyarakat, tidak bisa lepas dan selalu terpengaruh olehnya, bahwa segala tindakan dan gagasan yang dimiliki manusia senantiasa terpengaruh oleh situasi masyarakat dimana individu tersebut berkembang. Sedangkan gagasan masyarakat dalam manusia, menjelaskan bahwa masyarakat merupakan hasil dari pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus kedunia, lahir dari gagasan dan pemikiran seorang manusia, yang pada akhirnya menyebar dan mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat, hingga akhirnya menjadi gagasan dan pemikiran bersama dalam masyarakat.bertolak dari pandangan tersebut maka.

Salah satu Ormas Islam terbesar di Indonesia yang pada tahun ini kental dengan gerakan Islam Nusantara adalah Nahdlatul Ulama (NU) dengan mengusung penghargaan akan toleransi. Gerakan keagamaan yang dibangun ormas Islam Nahdlatul Ulama dapat kita jumpai sebagai suatu fondasi kontruksi sosial religius bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kaum Nahdiyin yang kental dengan berbagai macam kegiatan sosial religius seperti maulid, tahlilan, Istighosah, Selapanan, Walimahan merupakan cerminan bangunan religi berbingkai hubungan sosial. Indikator yang dapat mengukur kontruksi sosial religius tersebut dengan menggunakan pendekatan religius, pendekatan interaksi sosial.

Pertama, kita lihat dari segi religiusitasnya. Menurut Hendropuspito (1983:32) Religiusitas bertautan dengan kebutuhan manusia akan agama. Terjadi tatkala manusia tak berdaya sama sekali merebut kebahagiaan dengan kekuatan sendiri, hingga akhirnya manusia menggunakan tenaga lain yang dipercaya berada di dunia luar yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera,namun dirasa mampu membantunya, yaitu agama. Dimensi religiusitas dalam aktivitas-aktivitas yang ditunjukan oleh warga nahdiyin tadi sebagai aktivitas religius menyangkut doa, mendoakan, bersholawat, membaca surat dalam Al-Quran, dan berdzikir dengan kalimat-kalimat memuji kepada Allah SWT. Semuanya itu biasanya dikombinasikan seperti dalam tahlilan dan Istighosah yang tentunya tujuannya adalah mengharap ridho Allah SWT.  

Kedua, Pendekatan interaksi sosial. Interaksi social (Soerjono Soekanto:2003)  adalah dasar dari proses sosial yang terjadi akibat adanya hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dalam hal ini mencakup hubungan antarindividu, antarkelompok maupun yang terjadi antara individu dan kelompok. Mmeenuhi apa yang disampaikan pakar sosiolog tersebut yang dibangun dalam konteks aktivitas keagamaan tadi sangat kental, mulai dari hal yang terkecil bersalaman, salaling sapa, senyum, bertatap muka dan saling bersosialisasi satu sama lain adalah bukti kehangatan persaudaraan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Kehangatan ini adakalanya tercipta karena intesintas pertemuan yang tidak dilakukan setiap hari, sehingga dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut rasanya menjadi jembatan untuk mepererat hubungan sosial. Seperti kegiatan Istighosah bisa saja hanya dilakukan setiap satu minggu sekali atau satu bulan sekali. Dalam konteks sosial misalnya tahlilan digunakan untuk mendoakan almarhum atau almarhumah selama 7 hari berurut-turut dan uniknya mereka datang tanpa diundang hanya dilandasi rasa kemanusiaan sebagai sesama warga masyarakat. Dalam interaksi sosial situasi tatap muka antar orang sehingga terlihat lebih nyata dalam dirinya. Deskripsi ini bahakan telah memenuhi suatu persyaratan interkasi sosial yang di sampaikan Soerjono Soekanto yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi.

Sedikit bercerita pengalaman pribadi, ketika saya kuliah Kerja Nyata di daerah Bandung Kecamatan Pecalungan Kabupaten Batang dimana keompok tahlil yang dilaksanakan setiap malam jumat termasuk menarik karena ada “value” yang patut diambil. Yang menarik adalah bahwa para pengikut, peserta, jamaah (entah sebutan apa yang pas) dikuti oleh semua umur, dari tingkat SD sampai orang tua yang sudah sangat sepuh sehingga interaksi yang dibangun benar-benar nyata, tanpa beda-bedakan, tersenyum bersama. Bahkan yang memimpin (Ngimami.red) diatur secara bergantian dari ustadz yang masih muda sampai yang sudah berpengalaman, sehingga tidak ada monopoli kemahiran, kekuasaan atau egoisme, dengan tujuan menciptakan regenerasi yang baik. Selain itu juga ada hal yang sifatnya sosial -seperti dibanyak tempat- misalnya ada dana untuk santunan bagi orang sakit atau terkena musibah, dana sosial keagamaan dsb. Artinya bahwa kegiatan-kegiatan semacam ini bukan hanya melulu soal ibadah ilahiyah tetapi juga ibadah dalam berhubungan secara sosial.


Aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh warga nahdiyin tersebut, semata-mata adalah untuk menunjukan betapa hubungan religi dan sosial itu sangat penting. Hubungan vertikal dengan Tuhannya dan hubungan horizontal dengan sesama manusia adalah dua hal mutlak yang harus berjalan secara beriringan, maka konsep Islam Nusantara yang ducetuskan oleh Nahdlatul Ulama adalah untuk memahami realitas kehidupan sosial bangsa Indonesia yang majemuk untuk mewujudkanrahmatal lil alamin di bumi Nusantara. Menunujukan bahwa Islam ke-Indonesiaan adalah Islam yang menerima akan perbedaan, memahami kultur masyarakatnya sehingga tidak mudah menyalahkan yang berbeda pemikiran.
Selengkapnya Kontruksi Sosial Religius : Sebuah Refleksi Terhadap Aktivitas Sosial Keagamaan Warga Nahdiyin download disini!

(Ulul Mukmin, S.Pd. - Guru di Boarding School Semarang)

0 komentar: