Gambar. diambil dalam Acara Pelangi Ramadhan Hima PKn 2014 |
Bangsa Indonesia dengan kekhasan struktur budayanya telah
terdiferensiasi kedalam subkultur yang sangat kompleks. Keadaan yang demikian
menjadikan pandangan kebhinekaan sebagai anugerah Tuhan, menjadi kunci
persatuan dan kerukunan diantara perbedaan. Gerakan toleransi untuk saling memahami, menghormati
dan menghargai diantara perbedaan adalah keniscayaan yang harus dikedepankan, agar
senantiasa stabilitas kehidupan bermasyarakat dapat terjaga. Menghindarkan diri
dari pengkotak-kotakan dengan dalih pembenaran ego adalah hal yang wajib
hukumnya dilakukan bagi individu, kelompok yang merasa dirinya bangsa Indonesia
seutuhnya.
Indonesia adalah bangsa yang religius, sejak ratusan tahun
yang lalu di zaman kerajaan, sebelum datang agama-agama samawi maupun duniawi,
bangsa ini telah memiliki kepercayaan berupa animisme dan dinamisme, yang
kemudian seiring berjalannya waktu masuklah agama dari luar, dimulai dari
Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katholik sampai Konghucu. Konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia pun telah menjamin setiap orang untuk memeluk Agama
sesuai dengan kepercayaannya, artinya bahwa Negara hadir dalam menjamin hak
yang tergolong “non derogable right” tersebut.
Dalam satu dekade ini negeri ini sedang diguncang aksi
dan isu terorisme, konflik SARA yang mengatasanamakan agama sebagai alasan
pembenar, menyalahkan yang bukan golongannya bahkan dengan mudah mengkafirkan
bagi orang-orang yang tidak seagama maupun yang seagama tetapi beda mahzab,
beda imam atau bahkan dianggap beda nabi. Pandangan yang demikian yang memicu
gerakan-gerakan radikal, yang bagi mereka sulit menerima perbedaan dan tipis
akan pemahaman tolerasi. Maka dari pada itu dibutuhkan suatu tindakan
pencerdasan yang menjadikan agama tidak hanya bersifat ritual ibadah saja, tetapi
secara subtantif menjadi landasan dalam bersosial. Sehingga beragama bukan
hanya soal ritual keagamaan, tetapi bagaimana membangun bangunan sosial dengan
masyarakat dan lingkungan dalam bingkai kontruksi sosial religius.
Konstruksi sosial Religius mengambil hubungan antara kontruksi
relitas sosial dan hubungan religius. Konsrtruksi realitas Sosial (Berger:2012)
menyebutkan “manusia dalam Masyarakat”(man in society)
dan “masyarakat dalam manusia”(society
in man), artinya keduanya saling membutuhkan dan saling
memengaruhi. Gagasan manusia dalam masyarakat, menjelaskan
bahwa manusia
ialah bagian dari masyarakat, tidak bisa lepas dan selalu terpengaruh olehnya, bahwa segala tindakan dan
gagasan yang dimiliki manusia senantiasa terpengaruh oleh situasi masyarakat dimana
individu tersebut berkembang. Sedangkan gagasan masyarakat dalam manusia,
menjelaskan bahwa masyarakat merupakan hasil dari pencurahan kedirian manusia
secara terus-menerus kedunia, lahir dari gagasan dan pemikiran seorang manusia,
yang pada akhirnya menyebar dan mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat, hingga
akhirnya menjadi gagasan dan pemikiran bersama dalam masyarakat.bertolak dari pandangan tersebut maka.
Salah satu Ormas Islam terbesar di Indonesia yang pada
tahun ini kental dengan gerakan Islam Nusantara adalah Nahdlatul Ulama (NU)
dengan mengusung penghargaan akan toleransi. Gerakan keagamaan yang dibangun
ormas Islam Nahdlatul Ulama dapat kita jumpai sebagai suatu fondasi kontruksi
sosial religius bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kaum
Nahdiyin yang kental dengan berbagai macam kegiatan sosial religius seperti
maulid, tahlilan, Istighosah, Selapanan, Walimahan merupakan cerminan bangunan
religi berbingkai hubungan sosial. Indikator yang dapat mengukur kontruksi
sosial religius tersebut dengan menggunakan pendekatan religius, pendekatan
interaksi sosial.
Pertama, kita lihat dari segi religiusitasnya. Menurut Hendropuspito
(1983:32) Religiusitas bertautan dengan kebutuhan
manusia akan agama. Terjadi tatkala
manusia tak berdaya sama sekali merebut kebahagiaan dengan kekuatan sendiri, hingga
akhirnya manusia menggunakan tenaga lain yang dipercaya berada di dunia
luar yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera,namun dirasa mampu membantunya,
yaitu agama. Dimensi religiusitas dalam aktivitas-aktivitas
yang ditunjukan oleh warga nahdiyin tadi sebagai aktivitas religius menyangkut
doa, mendoakan, bersholawat, membaca surat dalam Al-Quran, dan berdzikir dengan
kalimat-kalimat memuji kepada Allah SWT. Semuanya itu biasanya dikombinasikan
seperti dalam tahlilan dan Istighosah yang tentunya tujuannya adalah mengharap
ridho Allah SWT.
Kedua, Pendekatan interaksi sosial. Interaksi
social (Soerjono Soekanto:2003) adalah dasar dari proses sosial yang terjadi
akibat adanya hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dalam hal ini mencakup
hubungan antarindividu, antarkelompok maupun yang terjadi antara individu dan
kelompok. Mmeenuhi apa yang disampaikan pakar
sosiolog tersebut yang dibangun dalam konteks aktivitas keagamaan tadi sangat
kental, mulai dari hal yang terkecil bersalaman, salaling sapa, senyum, bertatap
muka dan saling bersosialisasi satu sama lain adalah bukti kehangatan persaudaraan
sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Kehangatan ini adakalanya
tercipta karena intesintas pertemuan yang tidak dilakukan setiap hari, sehingga
dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut rasanya menjadi jembatan untuk
mepererat hubungan sosial. Seperti kegiatan Istighosah bisa saja hanya
dilakukan setiap satu minggu sekali atau satu bulan sekali. Dalam konteks
sosial misalnya tahlilan digunakan untuk mendoakan almarhum atau almarhumah
selama 7 hari berurut-turut dan uniknya mereka datang tanpa diundang hanya
dilandasi rasa kemanusiaan sebagai sesama warga masyarakat. Dalam interaksi
sosial situasi tatap muka antar orang sehingga terlihat lebih nyata dalam
dirinya. Deskripsi ini bahakan telah memenuhi suatu persyaratan interkasi
sosial yang di sampaikan Soerjono Soekanto yaitu adanya kontak sosial dan
komunikasi.
Sedikit bercerita pengalaman pribadi, ketika saya kuliah
Kerja Nyata di daerah Bandung Kecamatan Pecalungan Kabupaten Batang dimana
keompok tahlil yang dilaksanakan setiap malam jumat termasuk menarik karena ada
“value” yang patut diambil. Yang menarik adalah bahwa para pengikut, peserta,
jamaah (entah sebutan apa yang pas) dikuti oleh semua umur, dari tingkat SD
sampai orang tua yang sudah sangat sepuh sehingga interaksi yang dibangun benar-benar
nyata, tanpa beda-bedakan, tersenyum bersama. Bahkan yang memimpin
(Ngimami.red) diatur secara bergantian dari ustadz yang masih muda sampai yang
sudah berpengalaman, sehingga tidak ada monopoli kemahiran, kekuasaan atau
egoisme, dengan tujuan menciptakan regenerasi yang baik. Selain itu juga ada
hal yang sifatnya sosial -seperti dibanyak tempat- misalnya ada dana untuk
santunan bagi orang sakit atau terkena musibah, dana sosial keagamaan dsb.
Artinya bahwa kegiatan-kegiatan semacam ini bukan hanya melulu soal ibadah
ilahiyah tetapi juga ibadah dalam berhubungan secara sosial.
Aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh warga nahdiyin tersebut,
semata-mata adalah untuk menunjukan betapa hubungan religi dan sosial itu
sangat penting. Hubungan vertikal dengan Tuhannya dan hubungan horizontal
dengan sesama manusia adalah dua hal mutlak yang harus berjalan secara
beriringan, maka konsep Islam Nusantara yang ducetuskan oleh Nahdlatul Ulama
adalah untuk memahami realitas kehidupan sosial bangsa Indonesia yang majemuk
untuk mewujudkanrahmatal lil alamin di bumi Nusantara. Menunujukan bahwa Islam
ke-Indonesiaan adalah Islam yang menerima akan perbedaan, memahami kultur
masyarakatnya sehingga tidak mudah menyalahkan yang berbeda pemikiran.
(Ulul Mukmin, S.Pd. - Guru di Boarding School Semarang)
Selengkapnya Kontruksi Sosial Religius : Sebuah Refleksi Terhadap Aktivitas Sosial Keagamaan Warga Nahdiyin download disini!
(Ulul Mukmin, S.Pd. - Guru di Boarding School Semarang)
0 komentar:
Posting Komentar