Senin, 18 Januari 2016

“Berpikir adalah kegiatan tersulit yang pernah ada. Oleh karena itu hanya sedikit yang melakukannya” – Henry Ford
Organisasi menawarkan masalah, maka jika kamu masuk dalam organisasi bersiaplah untuk bertemu masalah, begitulah kiranya ungkapan pertama yang saya dapatkan ketika dulu mengikuti seleksi khusus (Litsus) masuk kedalam organsisasi di kampus untuk kali pertama. Awalnya saya tidak pernah berpikir panjang apa dibalik makna itu, yang saya pikirkan saya siap menerima konsekuensi itu sebagai jawaban mahasiswa yang masih “hijau” yang punya keinginan kuat masuk ke dalam organisasi. Selama mengikuti organisasi itulah saya banyak mendapatkan banyak hal, sampai saya mengakhiri organisasi, tentunya bukan soal materil yang dapat dilihat atau diukur tapi ini soal rasa dimana istilah jawa mengenalnya dengan rumangsa (merasa) yang kemudian dalam organisasi dikejawatahkan dalam tiga konsep yaitu sadar diri, sadar fungsi dan sadar posisi. Persoalan ke-dasar-an diri menjadi penting ketika semua paham tentang gagasan ini sehingga tidak seorang organisatoris sejati mengatakan tidak nyaman dalam organisasi, karena seyogyanya konsep nyaman dalam organisasi itu dibuat sendiri oleh siempunya bukan rekayasa mengikuti kehendak pribadi.
Organisasi yang sehat tentu ada konflik yang terjadi didalamnya tetapi yang menyehatkan adalah bagaimana konflik itu dikemas untuk mendewasakan, memahamkan dan memberikan nilai kepada setiap pribadi secara bersama dan bekerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Yang pada akhirnya setiap individu dalam organisasi memang harus berdamai dengan konflik bukan menjauhi atau bahkan lari dengan konflik.

Pemahaman saya mengikuti organisasi setidaknya ada tiga fungsi yang harus dimiliki dalam organisasi dan hal inilah yang selalu saya sampaikan kepada kawan yang setingkat maupun beda tingkatan (adik angkatan.red). Pertama Fungsi Event Organizer (EO) yaitu bagaimana organisasi ini mampu melaksanakan manajemen kegiatan secara baik dan benar, bagaimana mengorganisir peserta, menganalisis situasi dan kondisi dengan menyiapkan berbagai rancangan kegiatan yang sifatnya utama maupun cadangan. Dalam konsep ini sejatinya bukan hanya memainkan peran sebagai penyelenggara kegiatan, namun kita tentu paham bahwa luarannya adalah menghasilkan aktivis, organisatoris maupun fungsionaris yang bisa bekerjasama dalam tim, memahami tugas secara personal dan mampu mengaktualisasikan pemikiran dalam konteks kegiatan.

Kedua adalah fungsi Advokasi. Sebagai organisasi di dalam kampus yang merupakan jembatan bagi mahasiswa dan masyarakat maka advokasi adalah jalur untuk memberikan kebermanfaatan sosial. Advokasi bukan hanya soal demontrasi tetapi mulai hal yang terkecil dari membantu masalah mahasiswa yang mengalami kesulitan mengakses akademik maupun non akademik, menjadi mediator sekaligus fasiliator bagi mahasiswa dan masyarakat untuk menyampaikan kepada para decision maker dan stakeholder dalam merealisasikan hak-hak mereka. Dalam fungsi inilah akan menghasilkan aktivis, organisatoris maupun fungsionaris yang memiliki jiwa kritis, peduli, selalu gelisah melihat kedaan dan mampu menemukan alternatif-alternatif bantuan.

Yang terakhir adalah fungsi kaderisasi. Secara sempit dapat diartikan sebagai proses untuk membentuk kader-kader yang akan menggantikan dan meneruskan roda organisasi dikemudian hari. Banyak yang berpandangan bahwa kaderisasi itu soal mencetak pemimpin, mencari pemimpin dan siapa yang akan dikader untuk menggatikan pemimpin. Tapi menurut hemat saya kaderisasi adalah proses peralihan segala bentuk pengetahuan dari yang berpengalaman kepada generasi selanjutnya baik menyangkut soft skill maupn hard skill. Kaderisasi bukan hanya soal mencetak pemimpin, bukan hanya soal siapa yang ikut dalam pemilihan menjadi pemimpin. Tetapi adalah proses yang senantiasa berkelanjutan dari awal sampai akhir kepengurusan. Pertanyaan reflektif untuk kaderisasi misalnya berapa banyak orang yang memahami pemimpinnya, berapa banyak anggota yang paham akan tugas pokok dan fungsinya, apakah dia sudah paham konsep kepemimpinan, paham Anggaran Dasar (AD) maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) dan bahkan menurut saya juga mencakup kaderisasi dibidang admintrasi sekalipun misalnya berapa banyak anggota yang mempu menyusun proposal dengan baik dan benar, mampun menyusun term of reference, mampu meyusun persuratan dengan baik dari mulai teknisnya sampai pada diksi kalimat suratnya hingga penyusunan rancangan anggaran biaya kegiatan (RAB). Inilah yang harus kita pahami bersama soal kaderisasi. Ingat bahwa organisasi didalam kampus tidak pernah menawarkan “upah”. Mereka datang dan masuk dalam organisasi ingin belajar dengan dasar kesukarelaan maka sudah sepantasnya trasnfer knowledge menjadi imbalan paling berharga bagi mereka yang meniatkan diri dan “istiqomah” aktif di dalam organisasi.
Berangkat dari pemahaman kerdil saya itulah saya melihat fenomena organisatoris sekarang terbagi menjadi dua kelompok yang kita semua tidak menyadari. Pertama adalah kelompok aktivis, dalam konteks ini dia lebih mementingkan tindakan dan selalu berpikir filosofis, logis dan sosialis (bukan isme lebih kearah kepedulian dan keprihatinan). Kelompok semacam ini dapat kita temukan dalam organisasi namun sedikit jumlahnya, mereka selalu mengambil hikmah didalam setiap pertemuan, selalu mengamati keadaan, melakukan obrolan yang arahnya evaluatif bagi diri dan kelompoknya, mencoba untuk merangkul dan menemukan solusi atas permasalahah-permasalahan yang dihadapi bersama. Kedua adalah kaum pekerja organisasi, inilah adalah golongan orang-orang yang sangat miris karena organisasi hanya dipandang sebagai rutinitas, menjalankan tugas dan fungsi atau hanya sekedar mengisi waktu luang. Iya memang orang-orang ini mayoritas pekerja keras akan tetapi hanya bersifat arahan garis kinerja tanpa mampu melihat makna, nilai bahkan aspek filosofis dibalik organisasi itu. Lebih parahnya adalah mereka adalah orang-orang rajin yang miskin perhatian namun selalu bekerja dibawah tekanan, hanya bisa mengeluh tak bisa mengungkapkan. Biasanya orang-orang ini hanya berani mengungkapkan kegelisahannya hanya dengan dipaksa. Akan sangat bahaya jika mereka telah purna dari organisasi karena mereka menganggap semuanya sudah selesai.


Untuk itu semua ada ditangan sauadara semua memilih menjadi aktivis atau pekerja organisasi ataupun ativis pekerja keras, menarik atau menantang? Demikian tulisan ini saya tulis dengan tidak objektif, asumtif bahkan tanpa data ilmiah jadi saya memberikan waktu untuk berdiskusi, mengkritik, memberi masukan atas pemahaman kerdil saya ini. 

Selengkapnya Aktivis atauPekerja Organisasi (?) dapat diunduh disini!

0 komentar: