“Berpikir adalah kegiatan tersulit yang pernah ada. Oleh karena itu hanya sedikit yang melakukannya” – Henry Ford |
Organisasi yang sehat tentu ada konflik yang terjadi
didalamnya tetapi yang menyehatkan adalah bagaimana konflik itu dikemas untuk
mendewasakan, memahamkan dan memberikan nilai kepada setiap pribadi secara
bersama dan bekerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Yang pada akhirnya
setiap individu dalam organisasi memang harus berdamai dengan konflik bukan
menjauhi atau bahkan lari dengan konflik.
Pemahaman saya mengikuti organisasi setidaknya ada tiga
fungsi yang harus dimiliki dalam organisasi dan hal inilah yang selalu saya
sampaikan kepada kawan yang setingkat maupun beda tingkatan (adik angkatan.red).
Pertama Fungsi Event Organizer (EO) yaitu
bagaimana organisasi ini mampu melaksanakan manajemen kegiatan secara baik dan
benar, bagaimana mengorganisir peserta, menganalisis situasi dan kondisi dengan
menyiapkan berbagai rancangan kegiatan yang sifatnya utama maupun cadangan.
Dalam konsep ini sejatinya bukan hanya memainkan peran sebagai penyelenggara
kegiatan, namun kita tentu paham bahwa luarannya adalah menghasilkan aktivis,
organisatoris maupun fungsionaris yang bisa bekerjasama dalam tim, memahami
tugas secara personal dan mampu mengaktualisasikan pemikiran dalam konteks
kegiatan.
Kedua adalah fungsi
Advokasi. Sebagai organisasi di dalam kampus yang merupakan jembatan bagi
mahasiswa dan masyarakat maka advokasi adalah jalur untuk memberikan kebermanfaatan
sosial. Advokasi bukan hanya soal demontrasi tetapi mulai hal yang terkecil
dari membantu masalah mahasiswa yang mengalami kesulitan mengakses akademik
maupun non akademik, menjadi mediator sekaligus fasiliator bagi mahasiswa dan
masyarakat untuk menyampaikan kepada para decision
maker dan stakeholder dalam merealisasikan
hak-hak mereka. Dalam fungsi inilah akan menghasilkan aktivis, organisatoris
maupun fungsionaris yang memiliki jiwa kritis, peduli, selalu gelisah melihat
kedaan dan mampu menemukan alternatif-alternatif bantuan.
Yang terakhir adalah fungsi
kaderisasi. Secara sempit dapat diartikan sebagai proses untuk membentuk
kader-kader yang akan menggantikan dan meneruskan roda organisasi dikemudian
hari. Banyak yang berpandangan bahwa kaderisasi itu soal mencetak pemimpin,
mencari pemimpin dan siapa yang akan dikader untuk menggatikan pemimpin. Tapi
menurut hemat saya kaderisasi adalah proses peralihan segala bentuk pengetahuan
dari yang berpengalaman kepada generasi selanjutnya baik menyangkut soft skill maupn hard skill. Kaderisasi bukan hanya soal mencetak pemimpin, bukan
hanya soal siapa yang ikut dalam pemilihan menjadi pemimpin. Tetapi adalah
proses yang senantiasa berkelanjutan dari awal sampai akhir kepengurusan.
Pertanyaan reflektif untuk kaderisasi misalnya berapa banyak orang yang
memahami pemimpinnya, berapa banyak anggota yang paham akan tugas pokok dan
fungsinya, apakah dia sudah paham konsep kepemimpinan, paham Anggaran Dasar
(AD) maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) dan bahkan menurut saya juga mencakup
kaderisasi dibidang admintrasi sekalipun misalnya berapa banyak anggota yang
mempu menyusun proposal dengan baik dan benar, mampun menyusun term of reference, mampu meyusun
persuratan dengan baik dari mulai teknisnya sampai pada diksi kalimat suratnya
hingga penyusunan rancangan anggaran biaya kegiatan (RAB). Inilah yang harus
kita pahami bersama soal kaderisasi. Ingat bahwa organisasi didalam kampus
tidak pernah menawarkan “upah”. Mereka datang dan masuk dalam organisasi ingin
belajar dengan dasar kesukarelaan maka sudah sepantasnya trasnfer knowledge menjadi imbalan paling berharga bagi mereka yang
meniatkan diri dan “istiqomah” aktif di dalam organisasi.
Berangkat dari pemahaman kerdil saya itulah saya melihat
fenomena organisatoris sekarang terbagi menjadi dua kelompok yang kita semua
tidak menyadari. Pertama adalah kelompok aktivis,
dalam konteks ini dia lebih mementingkan tindakan dan selalu berpikir
filosofis, logis dan sosialis (bukan isme lebih kearah kepedulian dan
keprihatinan). Kelompok semacam ini dapat kita temukan dalam organisasi namun
sedikit jumlahnya, mereka selalu mengambil hikmah didalam setiap pertemuan,
selalu mengamati keadaan, melakukan obrolan yang arahnya evaluatif bagi diri
dan kelompoknya, mencoba untuk merangkul dan menemukan solusi atas
permasalahah-permasalahan yang dihadapi bersama. Kedua adalah kaum pekerja organisasi, inilah adalah
golongan orang-orang yang sangat miris karena organisasi hanya dipandang
sebagai rutinitas, menjalankan tugas dan fungsi atau hanya sekedar mengisi
waktu luang. Iya memang orang-orang ini mayoritas pekerja keras akan tetapi
hanya bersifat arahan garis kinerja tanpa mampu melihat makna, nilai bahkan
aspek filosofis dibalik organisasi itu. Lebih parahnya adalah mereka adalah orang-orang
rajin yang miskin perhatian namun selalu bekerja dibawah tekanan, hanya bisa mengeluh
tak bisa mengungkapkan. Biasanya orang-orang ini hanya berani mengungkapkan
kegelisahannya hanya dengan dipaksa. Akan sangat bahaya jika mereka telah purna
dari organisasi karena mereka menganggap semuanya sudah selesai.
Untuk itu semua ada ditangan sauadara semua memilih
menjadi aktivis atau pekerja organisasi ataupun ativis pekerja keras, menarik
atau menantang? Demikian tulisan ini saya tulis dengan tidak objektif, asumtif
bahkan tanpa data ilmiah jadi saya memberikan waktu untuk berdiskusi, mengkritik,
memberi masukan atas pemahaman kerdil saya ini.
Selengkapnya Aktivis atauPekerja Organisasi (?) dapat diunduh disini!
0 komentar:
Posting Komentar