Pemilihan umum sebagai sarana pergantian kepemimimpinan
dan sebagai pilar demokrasi memiliki fungsi yang sangat penting. Pemilihan umum
digunakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat karena pada dasarnya rakyatlah yang
akan menentukan siapa yang akan memimpinnya. Hal ini sejalan dengan makna demokrasi
dimana demokrasi didefinisikan pemerintah dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat.
Selain itu pemilu digunakan sebagai evaluasi yang akhirnya untuk melegitimasi kekuasaan
yang ada. Apakah pemerintah yang telah berjalan itu sudah memuasakn rakyatnya atau belum,sehingga
disinilah rakyat yang akan menentukannaya.
Sejak merdeka sampai sekarang Indonesia telah
mengalami beberapa kali pemilihan umum mulai dari tahun 1955 yaitu pemilu pertama
sampai sekarang tahun 2014 yang tentunya dengan system yamg berbeda-beda yang telah
mengalami proses yang panjang serta mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bebrapa
hal memang menjadi sorotan dalam pemilihan umum mulai dari peserta pemilhan umum,daftar
pemilih,azaz serta tata cara yang digunakannya. Tahun 1955 pemilu diiukuti oleh 10 partai politik,kemudian pada
pemilu selanjutnya akibat rezim orde baru semua partai politik melebur menjadi
beberapa kekuatan saja yaitu dua partai politik yaitu PDI dan PPP dan satu golongan
karya (Golkar) yang tidak mau disebut sebagai
partai politik. Kemudian historis tersebut berubah sejak rezim orde baru digulingkan
yang ditandai dimulainya era reformasi dimana kran hak asasi warga Negara dibebaskan. Tahun 1999 menjadi pemilihan umum pertama pada
masa era reformasi yang diikuti oleh 48 partai politik yang mengantarkan MPR kemudian
memilih KH. Abdurahman Wahid sebagai Presiden Republik ini. Tahun 2004 menjadi
pemilu yang mengalami perubahan yang sangat drastis
baik dari legislative maupun eksekutif. Pada tahun ini juga
presiden tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ini juga
yang kemudian meneguhkan system presidensial.
Implikasi dari pemilihan
presiden secara
langsung ternyata berdampak pada pemilihan kepala derah baik di tingkat
provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Seakan ini menjadi efek domino daripada
pilpres secara langsung walaupun sangat jelas
dalam UUD 1945 pasal 18 ayat
(4) disana disebutkan gubernur,bupati dan walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan provinsi,kabupataen dan kota diplih secara demokratis. Inilah
yang menjadi polemik dimana kata demokratis diartikan pemilihan secara langsung
oleh rakyat. Kata demokratis seolah-olah menjadi suatu keharusan
untuk memilih
kepala daerah secara langsung padahal sesungguhnya kata demokratis dapat
dipahami sebagai sebuah keterbukaan dan komitmen bersama.
Yang menjadi akar permasalan dalam bahasan ini
adalah berkaitan dengan syarat menjadi kepala daerah untuk dapat bertarung dalam
konstetasi pesta demokrasi didaerah terutama untuk calon incumbent atau calon yang
akan maju kedaerah yang lebih tinggi. Misalnya seorang bupati atau walikota yang
akan maju mencalonkan diri menjadi gubernur baik didaerahnya atau diwilayah diluar
provinsinya bahkan sorang gubernur yang akan menjadi calon presiden atau wakil
presiden. Beberapa kasus telah ada sebelumnya, missal dalam pemilukada jawa tengah
tahun 2013 yang lalu ada seorang incumbent yakni bibit waluyo yang masih menjabat
sebagai gubernur jawa tengah dan seorang calon wakil gubernur yang masih menjadi
bupati purbalinggayang masa periodenya baru dua tahun yaitu Heru Sujatmoko. Contoh lain pada pemilukada di
DKI Jakarta ada seorang wakil gubernur dari sumatera selatan yaitu Alex Noerdin
dan walikota solo Joko Widodo. Yang menjadi permasalahan disini adalah berkaitan
dengan tugasnya selama satu periode apakah sudah terselaseaikan atau belum atau
misalnya baru menjabat beberapa tahun bahakn belum setengah dari peride kekuasaanya
tetapi sudah maju dalam kontetasi politik yang lebih besar.
Permasalahn lain adalah
kembali kepada komitmen
awal para kepala
daerah ketika mencalonkan diri dimana mereka akan menggunakan seluruh kemampuannya untuk mensejahterakan
rakyatnya didaerah. Menjadi kepala daerah adalah tugas
mulia tetapi juga
berat karena persoalan
yang begitu kompleks. Menjadi
persoalan adalah
ketika jabatan kepala
daerah hanya digunakan untuk kepentingan politik saja
untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi.
Kepala daerah
yang dipilh secara langsung semestinya mampu
mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya karena itulah tugas utamanya.
Selengkapnya silahkan unduh disini!
0 komentar:
Posting Komentar