Sabtu, 16 Januari 2016

Pemilihan umum sebagai sarana pergantian kepemimimpinan dan sebagai pilar demokrasi memiliki fungsi yang sangat penting. Pemilihan umum digunakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat karena pada dasarnya rakyatlah yang akan menentukan siapa yang akan memimpinnya. Hal ini sejalan dengan makna demokrasi dimana demokrasi didefinisikan pemerintah dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain itu pemilu digunakan sebagai evaluasi yang akhirnya untuk melegitimasi kekuasaan  yang ada. Apakah pemerintah  yang telah  berjalan itu sudah memuasakn rakyatnya atau belum,sehingga disinilah rakyat yang akan menentukannaya.

Sejak merdeka sampai sekarang Indonesia telah mengalami beberapa kali pemilihan umum mulai dari tahun 1955 yaitu pemilu pertama sampai sekarang tahun 2014 yang tentunya dengan system yamg berbeda-beda yang telah mengalami proses yang panjang serta mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bebrapa hal memang menjadi sorotan dalam pemilihan umum mulai dari peserta pemilhan umum,daftar pemilih,azaz serta tata cara yang digunakannya. Tahun 1955 pemilu diiukuti oleh 10 partai politik,kemudian pada pemilu selanjutnya akibat rezim orde baru semua partai politik melebur menjadi beberapa kekuatan saja yaitu dua partai politik yaitu PDI dan PPP dan satu golongan karya (Golkar) yang tidak mau disebut  sebagai partai politik. Kemudian historis tersebut berubah sejak rezim orde baru digulingkan yang ditandai dimulainya era reformasi dimana kran hak asasi warga Negara dibebaskan. Tahun 1999 menjadi pemilihan umum pertama pada masa era reformasi yang diikuti oleh 48 partai politik yang mengantarkan MPR kemudian memilih KH. Abdurahman Wahid sebagai Presiden Republik ini. Tahun 2004 menjadi pemilu  yang  mengalami  perubahan  yang  sangat  drastis  baik  dari  legislative maupun eksekutif. Pada tahun ini juga presiden tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ini juga yang kemudian meneguhkan system presidensial.

Implikasi  dari  pemilihan  presiden  secara  langsung  ternyata  berdampak pada pemilihan kepala derah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Seakan ini menjadi efek domino daripada pilpres secara langsung walaupun sangat jelas  dalam UUD 1945  pasal  18 ayat  (4) disana disebutkan gubernur,bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi,kabupataen dan kota diplih secara demokratis. Inilah yang menjadi polemik dimana kata demokratis diartikan pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kata  demokratis  seolah-olah  menjadi  suatu  keharusan  untuk  memilih  kepala daerah secara langsung padahal sesungguhnya kata demokratis dapat dipahami sebagai sebuah keterbukaan dan komitmen bersama.

Yang menjadi akar permasalan dalam bahasan ini adalah berkaitan dengan syarat menjadi kepala daerah untuk dapat bertarung dalam konstetasi pesta demokrasi didaerah terutama untuk calon incumbent atau calon yang akan maju kedaerah yang lebih tinggi. Misalnya seorang bupati atau walikota yang akan maju mencalonkan diri menjadi gubernur baik didaerahnya atau diwilayah diluar provinsinya bahkan sorang gubernur yang akan menjadi calon presiden atau wakil presiden. Beberapa kasus telah ada sebelumnya, missal dalam pemilukada jawa tengah tahun 2013 yang lalu ada seorang incumbent yakni bibit waluyo yang masih menjabat sebagai gubernur jawa tengah dan seorang calon wakil gubernur yang masih menjadi bupati purbalinggayang masa periodenya baru dua tahun yaitu  Heru Sujatmoko. Contoh lain pada pemilukada di DKI Jakarta ada seorang wakil gubernur dari sumatera selatan yaitu Alex Noerdin dan walikota solo Joko Widodo. Yang menjadi permasalahan disini adalah berkaitan dengan tugasnya selama satu periode apakah sudah terselaseaikan atau belum atau misalnya baru menjabat beberapa tahun bahakn belum setengah dari peride kekuasaanya tetapi sudah maju dalam kontetasi politik yang lebih besar.

Permasalahn  lain  adalah  kembali  kepada  komitmen  awal  para  kepala daerah ketika mencalonkan diri dimana mereka akan menggunakan seluruh kemampuannya  untuk  mensejahterakan  rakyatnya  didaerah.  Menjadi  kepala daerah  adalah  tugas  mulia  tetapi  juga  berat  karena  persoalan  yang  begitu kompleks.   Menjadi   persoalan   adalah   ketika   jabatan   kepala   daerah   hanya digunakan untuk kepentingan politik saja untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi.   Kepala   daerah   yang   dipilh   secara   langsung   semestinya   mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya karena itulah tugas utamanya.


Selengkapnya silahkan unduh disini!

0 komentar: