Tas hitam dari kulit buaya
Selamat pagi bekata Bapak Oemar Bakri
Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali
Tas hitam dari kulit buaya mari kita pergi
Memberi pelajaran ilmu pastu, itu murid mengamuk
Mungkin sudah menunggu
Laju sepeda kumbang berjalan di lubang, selalu begitu
dari dulu waktu jaman jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pinu gerbang, banyak polisi
bawa senjata berparas garang
Bapak oemar bakri kaget apa gerangan
Oemar
Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar
Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru
jujur berbakti memang makan hati
Oemar
Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar
Bakri... Bikin otak orang seperti otak Habibie
Tapi
mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri
Itulah sepenggal lagu milik Iwan Fals yang menceritakan
seorang guru PNS bernama Oemar Bakri, mengajar penuh keihlasan pada anak
didiknya, yang mampu mencetak generasi emas bagi bangsanya. Kalau saja kita mau
mencemati lebih jauh lagu tersebut adalah representasi dari kritik terhadap
kesejahteraan guru sebagai PNS pada waktu itu. Lagu ini sebagai kritik terhadap
gaji seorang guru seperti dikebiri walaupun mengabdi bertahun-tahun. Padahal guru
menjadi elemen penting dalam membantu -dalam konteks pengetahuan- seseorang
menjadi profesor, doktor, dokter, insinyur, menteri atau presiden sekalipun.
Sejak di bangku Sekolah Dasar tentu kita telah mengenal
sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”, yah itu sebutan yang disematkan kepada
seorang guru, profesi mulia yang karena keikhlasannya mampu menjadi jembatan
pengetahuan terhadap anak didiknya. Saya kira semua sepakat bahwa jenjang
sekolah adalah salah satu ladang untuk mencari ilmu pengetahuan, dimana dalam
sekolah guru berperan besar dalam melakukan alih pengetahuan, memerdekakan dari
ketidaktahuan, sehingga semua berproses dari yang tidak tahu menjadi tahu, yang
tidak paham menjadi paham dan yang belum mengerti menjadi lebih mengerti
melalui setumpuk proses yang semestinya bersifat humanis. Demikianlah melalui
jasa-jasa guru pengetahuan itu dapat diterima meskipun dengan cara-cara yang
berbeda-beda.
Guru dalam konteks bahasa jawa memiliki filosofi digugu lan ditiru, artinya bahwa semua
tidak tanduk, perilaku dan kepribadian seorang guru menjadi teladan, menjadi
cetak biru yang ditiru bagi anak didiknya. Bagaimana kemudian guru menjadi satu
role model pembentukan karakter bagi
sang murid, sampai ada pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing
berlari”. Maka kalau sekarang pembelajaran karakter itu menjadi sesuatu yang ramai
dikaji dan diperbincangkan sesungguhnya dua peribasa itu mengandung makna
filosofis yang mendalam dalam pembentukan karakter.
Dalam
Kungkungan Idealita dan Realita
Dalam masyarakat perdesaan Guru menjadi satu profesi
mulia, bahkan dianggap sebagai kaum priyayi, sehinggga sebutan bapak guru
maupun ibu guru akan terus melekat tidak hanya disekolah, tetapi ketika
berkumpul dengan masyarakatpun sebutan itu masih saja hangat, ini menandakan
bahwa penghargaan masyarakat terhadap seorang guru begitu tinggi, karena
persepsi masyrakat memandang seorang guru memiliki ilmu pengetahuan maka sudah
sepantasnya memberikan penghargaan kepada orang yang berilmu layaknya seorang
ustadz yang memiliki ilmu agama yang belajar di pesantren.
Dalam konteks idealita, guru menjadi penggerak perubahan
bagi kemajuan suatu bangsa, menjadi agen dalam melunasi janji kemerdekaan
mewujudkan tujuan bangsa Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Situasi
seperti ini guru adalah orang-orang luar biasa dengan bekal yang cukup untuk
menggerakan anak bangsa mencerdaskan secara intelektual, mental, sosial,
spiritual dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia. Seperti yang telah
disebutkan diatas guru menjadi profesi mulia memberikan sumbangsih besar dalam
menyiapkan generasi bangsa yang akan datang untuk menjadi pemimpin, ilmuwan, ataupun
profesi lainnya.
Bahkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah mempersiapkan guru masa depan dengan sertifikat sebagai
pendidik profesional melalui program profesi guru (PPG). Rencenanya kedepan
peserta PPG harus mengabdikan diri di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan
Terpencil), harapannya program ini mampu menghasilkan tenaga guru profesional
yang siap dengan segala medan baik memiliki fasilitas maupun tidak. Dengan
berbagai terobosan ini akhirnya profesi guru menjadi idola kembali dengan tunjangan
sertifikasi profesi yang dapat meningkatkan kesejahteraan guru.
Realitasnya kondisi calon guru maupun guru (khusunya
honorer) begitu membludak dan terus meningkat setiap tahunnya. Bayangkan setiap
tahun sekolah tinggi keguruan, Instititut Keguruan dan Universitas Eks IKIP
menghasilkan ribuan lulusan sarjana pendidikan yang notabene mereka adalah
calon guru. Sedangakn di lapangan masih banyak guru honorer yang belum menjadi
PNS yang jumlahnya sangat banyak. Sehingga kesempatan lulusan program studi
kependidikan untuk mengajarkan dan mengamalkan ilmunya sangat kecil ditambah
dengan begitu ketat masuk menjadi guru honorer. Dan permasalahan yang terjadi
banyak lulusan kependidikan yang justru tidak terjun di dunia pendidikan,
mereka banyak mengisi di perusahaan, perbankkan atau dunia kerja yang lain yang
dianggap lebih “basah” dan lebih menjanjikan.
Sikap
Menerima
Seperti lagu Oemar Bakri menjadi guru jujur berbakti memang makan hati. Yah melihat realitas hidup
di era sekarang ini ditengah tuntutan kebutuhan yang semakin kompleks maka
menjadi seorang guru dengan gaji pas-pasan memang makan hati. Menjadi guru
dalam keadaan sekarang ini memang penuh dengan tantangan antara meneguhkan
janji kemerdekaan atau memenuhi kebutuhan hidup yang semakin menantang.
Menjadi guru adalah pilihan maka yang terpenting adalah
keniatan hati menekuni profesi itu, pilihan resiko yang diambil memang harus
dihadapi, ketika kemantapan niat dan hati sudah bulat untuk terjun dalam dunia
pendidikan, khususnya menjadi seorang guru. Kalau memang menjadi guru adalah
pilihan hidup untuk memberikan kebermanfatan bagi generasi bangsa, maka sikap
siap menerima menjadi kunci konsisten menekuni profesi itu. Dalam dunia
pekerjaan menjadi guru sekarang, memang punya satu harapan yang menjanjikan
yaitu ketika menjadi seorang guru PNS dengan tunjangan sertifikasi –yang satu
ini saya yakin di harapkan oleh semua calon guru maupun guru honorer-. Namun
untuk menuju kesana dibutuhkan proses yang tidak instan, butuh waktu untuk
mempersiapkan diri sehingga menjadi guru tanpa status PNS bahkan menjadi guru
honorer siap dengan ketidak mapanan. Saya yakin bagi guru-guru yang memiliki
niat tulus mencerdaskan anak bangsa ini bukan menjadi masalah justru menjadi
tantangan untuk membuktikan bahwa kualitas yang dimiliki mereka bukanlah
“abal-abal”.
Kedepan yang dipersiapkan bagi lulusan sarjana pendidikan
(jika hendak menjadi guru) mungkin harus belajar pada Tan Malaka yang
berprinsip anti kemapanan dengan niat memerdekakan seratus persen. Artinya
bahwa seorang calon guru memiliki idealisme untuk memeperjuangkan anak-anak
bangsa dari kebodohan, memerdekan dari ketidaktahun dengan segenap keikhlasan.
Menutup tulisan ini saya ingin menyampiakn rasa hormat
dan terimakasih kepada seluruh guru yang telah ikut melunasi janji kemerdekaan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Segala budi baikmu, ilmumu dan kasih sayangmu
terhadap anak didikmu jauh sangat berharga. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa
membalas segala kebaikanmu dan meningkatkan derajatmu wahai guru.
1 komentar:
keren realita vs idealita
Posting Komentar