Senin, 11 Januari 2016

Tas hitam dari kulit buaya
Selamat pagi bekata Bapak Oemar Bakri
Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali
Tas hitam dari kulit buaya mari kita pergi
Memberi pelajaran ilmu pastu, itu murid mengamuk
Mungkin sudah menunggu
Laju sepeda kumbang berjalan di lubang, selalu begitu dari dulu waktu jaman jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pinu gerbang, banyak polisi bawa senjata berparas garang

Bapak oemar bakri kaget apa gerangan
Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Bikin otak orang seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itulah sepenggal lagu milik Iwan Fals yang menceritakan seorang guru PNS bernama Oemar Bakri, mengajar penuh keihlasan pada anak didiknya, yang mampu mencetak generasi emas bagi bangsanya. Kalau saja kita mau mencemati lebih jauh lagu tersebut adalah representasi dari kritik terhadap kesejahteraan guru sebagai PNS pada waktu itu. Lagu ini sebagai kritik terhadap gaji seorang guru seperti dikebiri walaupun mengabdi bertahun-tahun. Padahal guru menjadi elemen penting dalam membantu -dalam konteks pengetahuan- seseorang menjadi profesor, doktor, dokter, insinyur, menteri atau presiden sekalipun.

Sejak di bangku Sekolah Dasar tentu kita telah mengenal sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”, yah itu sebutan yang disematkan kepada seorang guru, profesi mulia yang karena keikhlasannya mampu menjadi jembatan pengetahuan terhadap anak didiknya. Saya kira semua sepakat bahwa jenjang sekolah adalah salah satu ladang untuk mencari ilmu pengetahuan, dimana dalam sekolah guru berperan besar dalam melakukan alih pengetahuan, memerdekakan dari ketidaktahuan, sehingga semua berproses dari yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak paham menjadi paham dan yang belum mengerti menjadi lebih mengerti melalui setumpuk proses yang semestinya bersifat humanis. Demikianlah melalui jasa-jasa guru pengetahuan itu dapat diterima meskipun dengan cara-cara yang berbeda-beda.

Guru dalam konteks bahasa jawa memiliki filosofi digugu lan ditiru, artinya bahwa semua tidak tanduk, perilaku dan kepribadian seorang guru menjadi teladan, menjadi cetak biru yang ditiru bagi anak didiknya. Bagaimana kemudian guru menjadi satu role model pembentukan karakter bagi sang murid, sampai ada pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maka kalau sekarang pembelajaran karakter itu menjadi sesuatu yang ramai dikaji dan diperbincangkan sesungguhnya dua peribasa itu mengandung makna filosofis yang mendalam dalam pembentukan karakter.

Dalam Kungkungan Idealita dan Realita
Dalam masyarakat perdesaan Guru menjadi satu profesi mulia, bahkan dianggap sebagai kaum priyayi, sehinggga sebutan bapak guru maupun ibu guru akan terus melekat tidak hanya disekolah, tetapi ketika berkumpul dengan masyarakatpun sebutan itu masih saja hangat, ini menandakan bahwa penghargaan masyarakat terhadap seorang guru begitu tinggi, karena persepsi masyrakat memandang seorang guru memiliki ilmu pengetahuan maka sudah sepantasnya memberikan penghargaan kepada orang yang berilmu layaknya seorang ustadz yang memiliki ilmu agama yang belajar di pesantren.

Dalam konteks idealita, guru menjadi penggerak perubahan bagi kemajuan suatu bangsa, menjadi agen dalam melunasi janji kemerdekaan mewujudkan tujuan bangsa Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Situasi seperti ini guru adalah orang-orang luar biasa dengan bekal yang cukup untuk menggerakan anak bangsa mencerdaskan secara intelektual, mental, sosial, spiritual dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia. Seperti yang telah disebutkan diatas guru menjadi profesi mulia memberikan sumbangsih besar dalam menyiapkan generasi bangsa yang akan datang untuk menjadi pemimpin, ilmuwan, ataupun profesi lainnya.

Bahkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mempersiapkan guru masa depan dengan sertifikat sebagai pendidik profesional melalui program profesi guru (PPG). Rencenanya kedepan peserta PPG harus mengabdikan diri di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Terpencil), harapannya program ini mampu menghasilkan tenaga guru profesional yang siap dengan segala medan baik memiliki fasilitas maupun tidak. Dengan berbagai terobosan ini akhirnya profesi guru menjadi idola kembali dengan tunjangan sertifikasi profesi yang dapat meningkatkan kesejahteraan guru.

Realitasnya kondisi calon guru maupun guru (khusunya honorer) begitu membludak dan terus meningkat setiap tahunnya. Bayangkan setiap tahun sekolah tinggi keguruan, Instititut Keguruan dan Universitas Eks IKIP menghasilkan ribuan lulusan sarjana pendidikan yang notabene mereka adalah calon guru. Sedangakn di lapangan masih banyak guru honorer yang belum menjadi PNS yang jumlahnya sangat banyak. Sehingga kesempatan lulusan program studi kependidikan untuk mengajarkan dan mengamalkan ilmunya sangat kecil ditambah dengan begitu ketat masuk menjadi guru honorer. Dan permasalahan yang terjadi banyak lulusan kependidikan yang justru tidak terjun di dunia pendidikan, mereka banyak mengisi di perusahaan, perbankkan atau dunia kerja yang lain yang dianggap lebih “basah” dan lebih menjanjikan.

Sikap Menerima
Seperti lagu Oemar Bakri menjadi guru jujur berbakti memang makan hati. Yah melihat realitas hidup di era sekarang ini ditengah tuntutan kebutuhan yang semakin kompleks maka menjadi seorang guru dengan gaji pas-pasan memang makan hati. Menjadi guru dalam keadaan sekarang ini memang penuh dengan tantangan antara meneguhkan janji kemerdekaan atau memenuhi kebutuhan hidup yang semakin menantang.

Menjadi guru adalah pilihan maka yang terpenting adalah keniatan hati menekuni profesi itu, pilihan resiko yang diambil memang harus dihadapi, ketika kemantapan niat dan hati sudah bulat untuk terjun dalam dunia pendidikan, khususnya menjadi seorang guru. Kalau memang menjadi guru adalah pilihan hidup untuk memberikan kebermanfatan bagi generasi bangsa, maka sikap siap menerima menjadi kunci konsisten menekuni profesi itu. Dalam dunia pekerjaan menjadi guru sekarang, memang punya satu harapan yang menjanjikan yaitu ketika menjadi seorang guru PNS dengan tunjangan sertifikasi –yang satu ini saya yakin di harapkan oleh semua calon guru maupun guru honorer-. Namun untuk menuju kesana dibutuhkan proses yang tidak instan, butuh waktu untuk mempersiapkan diri sehingga menjadi guru tanpa status PNS bahkan menjadi guru honorer siap dengan ketidak mapanan. Saya yakin bagi guru-guru yang memiliki niat tulus mencerdaskan anak bangsa ini bukan menjadi masalah justru menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa kualitas yang dimiliki mereka bukanlah “abal-abal”.

Kedepan yang dipersiapkan bagi lulusan sarjana pendidikan (jika hendak menjadi guru) mungkin harus belajar pada Tan Malaka yang berprinsip anti kemapanan dengan niat memerdekakan seratus persen. Artinya bahwa seorang calon guru memiliki idealisme untuk memeperjuangkan anak-anak bangsa dari kebodohan, memerdekan dari ketidaktahun dengan segenap keikhlasan.

Menutup tulisan ini saya ingin menyampiakn rasa hormat dan terimakasih kepada seluruh guru yang telah ikut melunasi janji kemerdekaan mencerdaskan kehidupan bangsa. Segala budi baikmu, ilmumu dan kasih sayangmu terhadap anak didikmu jauh sangat berharga. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikanmu dan meningkatkan derajatmu wahai guru.

(Ulul Mukmin, S.Pd. - Pegiat Pendidikan Politik dan Anti Korupsi, Eks Menko Sospol BEM KM Unnes 2015, Ketua BEM FIS 2014, Ketua Hima PKn 2013, kini aktif dalam paguyuban pengusaha martabak Tegal Laka-Laka di kota Surakarta)

1 komentar:

alviiaang.blogspot.com mengatakan...

keren realita vs idealita