Senin, 04 Januari 2016

Secara yuridis formal Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berbicara mengenai karakter sebagaimana menurut Wiyani (2012 : 57) yang mengungkapkan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Hal ini selaras dengan tujuan bmbingan dan konseling dalam upaya membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupan yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya (Prayitno, 1999 : 144). Sehingga tidak salah jika karakter sangat penting dalam pem-bangunan pribadi dan peradaban bangsa.

Namun dewasa ini krisis multidemensi merupakan faktor utama hilangnya jati diri bangsa. Globalisasi yang sering diartikan sebagai “dunia tanpa batasan” memberikan berbagai dampak terutama penyimpangan moral psikologis masyarakat Indonesia khususnya para pemuda. Meminjam istilahnya, Cecep Darmawan (2009) dalam Jurnal Negarawan mengemukakan bahwa globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Dengan ini jelas bawasannya arus globalisasi mampu mengendalikan kehidupan global masyarakat saat ini, menurut  David C. Korten (1988) terdapat empat mainstreem  yang mengendalikannya yaitu : 1) teknologi berkembang pesat melebihi era sebelumnya; 2) masyarakat dunia bergerak sangat dinamis; 3) persaingan yang semakin menajam; dan 4) pasar terbuka. Hal ini menjadi sebuah ironi tatkala gerak globalisasi ini terus berkembang dan mengendalikan berbagai aspek kehidupan manusia tanpa mampu terbendung. Sedangkan dalam buku Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2045, dijelaskan permasalahan bangsa saat ini seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa.

Selain fenomena-fenomena tersebut, terdapat fenomena lain yang harus diperhatikan  antara lain jumlah penyimpangan dan kenakalan remaja yang semakin parah dan dekadensi moral yang banyak terjadi di berbagai kalangan. Informasi global yang semakin mudah diakses justru memancing remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan yang tidak menggambarkan jati diri bangsa Indonesia sebagai contoh masuknya budaya-budaya barat seperti gaya berpakaian, gaya pergaulan hidup, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil survei yang yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) baru-baru ini mengungkapkan bahwa sebanyak 62,7 persen siswi SMP sudah pernah melakukan hubukan seks pra-nikah, alias tidak perawan. Sementara 21,2 persen dari para siswi SMP tersebut mengaku pernah melakukan aborsi ilegal. Dari survei yang diselenggarakan KOMNAS-PA tersebut terungkap bahwa tren perilaku seks bebas pada remaja Indonesia tersebar secara merata di seluruh kota dan desa, dan terjadi pada berbagai golongan status ekonomi dan sosial, baik kaya maupun miskin. Data tersebut diperoleh berdasarkan survei oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) yang dikumpulkan dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kotabesar. Sedangkan menurut survey Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah tentang perilaku remaja saat berpacaran menunjukkan saling mengobrol 100%, berpegangan tangan 93,3%, mencium pipi/kening 84,6%, berciuman bibir 60,9%, mencium leher 36,1%, saling meraba (payudara dan kelamin) 25%, dan melakuan hubungan seks 7,6%. Temuan survei atau penelitian semacam ini bukanlah merupakan berita yang ringan karena hal ini hanya merupakan salah satu dari berbagai dampak globalisasi yang menyebabkan krisis identitas bangsa. Lunturnya budaya dan nilai-nilai  adiluhur dalam diri remaja lebih banyak disebabkan keinginan mereka untuk meniru dari informasi yang mereka serap tanpa melakukan filter apapun. Sehingga hal itu menyebabkan pergeseran nilai-nilai luhur yang dianut remaja di era globalisasi ini.

Bertitik tolak penjelasan diatas maka pertumbuhan dan perkembangan globalisasi ini bisa diibaratkan seperti pedang bermata dua. Disatu sisi globalisasi menawarkan dampak positif sebagai contoh melalui pertumbuhan teknologi dan informasi mampu memberikan kita kesempatan untuk mengakses segala informasi dari seluruh penjuru dunia. Namun di lain sisi distorsi[5] nilai-nilai yang dikemas sedemikian rupa dengan penguatan argumen yang seolah-olah rasional dan objektif ini, merupakan salah satu bentuk perusakan jati diri (nilai-nilai adiluhur) bangsa Indonesia. Dari berbagai pendapat para ahli dan hasil penelitian yang disebutkan dimuka mengenai berbagai dampak globalisasi bagi pelajar terlihat jelas masih belum adanya sikap yang optimal dari pelajar dalam menghadapi dan menyikapi globalisasi secara bijaksana. Sehingga penulis ingin mengetahui, memahami, dan menganalisis peranan penting Bimbingan dan Konseling dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan karakter di era globalisasi. Maka penulis mengambil judul : “Bimbingan Konseling Di Sekolah Sebagai Sarana Internalisasi Pendidikan Karakter di Era Globalisasi.

Selengkapnya silahkan Download Disini!

1 komentar:

Dede Ardi Saputra mengatakan...

Yups benar http://warungimpian.blogspot.co.id/