Secara yuridis formal Pendidikan
Nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berbicara mengenai karakter
sebagaimana menurut Wiyani (2012 : 57) yang mengungkapkan bahwa karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian seseorang yang terbentuk
dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir,
bersikap, dan bertindak. Hal ini selaras dengan tujuan bmbingan dan konseling
dalam upaya membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupan
yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian,
dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya
(Prayitno, 1999 : 144). Sehingga tidak salah jika
karakter sangat penting dalam pem-bangunan pribadi dan peradaban bangsa.
Namun dewasa ini krisis
multidemensi merupakan faktor utama hilangnya jati diri bangsa. Globalisasi
yang sering diartikan sebagai “dunia
tanpa batasan” memberikan berbagai dampak terutama penyimpangan moral
psikologis masyarakat Indonesia khususnya para pemuda. Meminjam istilahnya,
Cecep Darmawan (2009) dalam Jurnal Negarawan mengemukakan bahwa globalisasi
adalah sebuah keniscayaan. Dengan ini jelas bawasannya arus globalisasi mampu
mengendalikan kehidupan global masyarakat saat ini, menurut David C. Korten (1988) terdapat empat mainstreem yang mengendalikannya yaitu : 1) teknologi
berkembang pesat melebihi era sebelumnya; 2) masyarakat dunia bergerak sangat
dinamis; 3) persaingan yang semakin menajam; dan 4) pasar terbuka. Hal ini
menjadi sebuah ironi tatkala gerak globalisasi ini terus berkembang dan
mengendalikan berbagai aspek kehidupan manusia tanpa mampu terbendung.
Sedangkan dalam buku Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2045,
dijelaskan permasalahan bangsa saat ini seperti: disorientasi dan belum
dihayatinya nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu
dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai-nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai
budaya bangsa, disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa.
Selain fenomena-fenomena
tersebut, terdapat fenomena lain yang harus diperhatikan antara lain jumlah penyimpangan dan kenakalan
remaja yang semakin parah dan dekadensi moral yang banyak terjadi di berbagai
kalangan. Informasi global yang semakin mudah diakses justru memancing remaja
untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan yang tidak menggambarkan jati diri
bangsa Indonesia sebagai contoh masuknya budaya-budaya barat seperti gaya
berpakaian, gaya pergaulan hidup, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil survei yang yang diselenggarakan oleh
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) baru-baru ini mengungkapkan bahwa
sebanyak 62,7 persen siswi SMP sudah pernah melakukan hubukan seks pra-nikah,
alias tidak perawan. Sementara 21,2 persen dari para siswi SMP tersebut mengaku
pernah melakukan aborsi ilegal. Dari survei yang diselenggarakan KOMNAS-PA
tersebut terungkap bahwa tren perilaku seks bebas pada remaja Indonesia
tersebar secara merata di seluruh kota dan desa, dan terjadi pada berbagai
golongan status ekonomi dan sosial, baik kaya maupun miskin. Data
tersebut diperoleh berdasarkan survei oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak
(KOMNAS-PA) yang dikumpulkan dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17
kotabesar. Sedangkan
menurut survey Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah
tentang perilaku remaja saat berpacaran menunjukkan saling mengobrol 100%,
berpegangan tangan 93,3%, mencium pipi/kening 84,6%, berciuman bibir 60,9%,
mencium leher 36,1%, saling meraba (payudara dan kelamin) 25%, dan melakuan
hubungan seks 7,6%.
Temuan survei atau penelitian semacam ini bukanlah merupakan berita yang ringan
karena hal ini hanya merupakan salah satu dari berbagai dampak globalisasi yang
menyebabkan krisis identitas bangsa. Lunturnya budaya dan nilai-nilai adiluhur dalam diri remaja lebih banyak
disebabkan keinginan mereka untuk meniru dari informasi yang mereka serap tanpa
melakukan filter apapun. Sehingga hal itu menyebabkan pergeseran nilai-nilai
luhur yang dianut remaja di era globalisasi ini.
Bertitik tolak penjelasan
diatas maka pertumbuhan dan perkembangan globalisasi ini bisa diibaratkan
seperti pedang bermata dua. Disatu sisi globalisasi menawarkan dampak positif
sebagai contoh melalui pertumbuhan teknologi dan informasi mampu memberikan
kita kesempatan untuk mengakses segala informasi dari seluruh penjuru dunia.
Namun di lain sisi distorsi[5]
nilai-nilai yang dikemas sedemikian rupa dengan penguatan argumen yang
seolah-olah rasional dan objektif ini, merupakan salah satu bentuk perusakan
jati diri (nilai-nilai adiluhur) bangsa Indonesia. Dari berbagai pendapat para
ahli dan hasil penelitian yang disebutkan dimuka mengenai berbagai dampak
globalisasi bagi pelajar terlihat jelas masih belum adanya sikap yang optimal
dari pelajar dalam menghadapi dan menyikapi globalisasi secara bijaksana.
Sehingga penulis ingin mengetahui, memahami, dan menganalisis peranan penting
Bimbingan dan Konseling dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan
karakter di era globalisasi. Maka penulis mengambil judul : “Bimbingan
Konseling Di Sekolah Sebagai Sarana Internalisasi Pendidikan Karakter di Era
Globalisasi.
Selengkapnya silahkan Download Disini!
1 komentar:
Yups benar http://warungimpian.blogspot.co.id/
Posting Komentar