Jumat, 01 Januari 2016

Kita semua tentu sepakat, generasi muda diarahkan guna menjadi pemuda yang bermoral mulia. Idealisme keindahan moral pada generasi muda bisa di lihat dari bagaimana dia berucap,berprilaku,bersopan santun. Sebuah keindahan idealisme akan tumbuh baik jika di imbangi dengan perilaku baik pula. Namun, apabila kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia beberapa dekade terakhir ini, begitu nampak bahwa tengah terjadi turbulensi moralitas dalam kehidupan sosial-kultural masyarakat. Pendidikan yang seharusnya mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang unggul dan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Nampaknya,  hal ini belum berfungsi sedemikian adanya. Sebut saja, data penilaian Human Development Index (HDI) tahun 2011. Kualitas pendidikan yang punya korelasi dengan kualitas SDM punya urutan buruk. Kualitas SDM Indonesia menurut Human Development Index (HDI) 2011 yang di release November 2011, ternyata Indonesia berada diurutan ke 124. Selanjutnya, UNESCO pada tahun 2012 melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 berdasarkan penilaian Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan.

Tidak hanya soal potret rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Globalisasi yang acapkali ditakrifkan sebagai “dunia tanpa batasan” memberikan berbagai dampak yang cukup signifikan terutama penyimpangan moral psikologis masyarakat Indonesia, khususnya para generasi muda. Eforia globalisasi telah meninabobokan pemuda dalam jurang serba “instan”. Merunut lebih dalam, mulai terjangkit dan terjebaknya pemuda dalam sindrom hedonis, menyebabkan implikasi besar yang menyeret pemuda dalam kerangka berpikir yang dangkal, dan akan menyebabkan disekuilibrium serta berkurangnya produktivitas pemuda dalam pembangunan bangsa. Sehingga, tidak berlebihan jika dewasa ini banyak pihak yang menyoroti karakter generasi muda. Sebut saja, berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Tidak hanya itu, berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2008 saja jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Jumlah 32% nya adalah pelajar dan juga mahasiswa. Bahkan, selain berbagai data tersebut kita  bisa menemukan berbagai hal dalam pemberitaan diberbagai media, misal saja kasus beredarnya video mesum yang melibatkan pelajar, kasus bullying, kasus tawuran antar pelajar, dan berbagai prilaku yang menunjukan krisis karakter lainnya.

Pernyataan, data, dan fakta dilapangan, menunjukan bahwa penting kaitannya mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Pembangunan sumber daya manusia secara komprehensif dan kolaboratif harus dilakukan oleh berbagai entitas masyarakat, dan salah satunya ialah melalui pendidikan dalam hal ini adalah mengambalikan arti penting dari filsafat moral bagi generasi muda. Pendidikan mempunyai peran sangat penting untuk mendidik generasi muda menjadi generasi yang dapat mengentaskan bangsa Indonesia dari keterpurukan. Dari pandangan tersebut, berbagai tantangan dan ancaman globalisasi setidak-tidaknya mampu di reduksi bahkan dibumi hanguskan dengan upaya pendidikan yaitu diantaranya ialah melalui pemahaman kembali tentang pentingnya filsafat moral bagi generasi muda. Hal ini dimanifestasikan akan membentuk kekuatan generasi muda (youth power) yang unggul dan berkarakter yang akan mensejajarkan bangsa ini dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki peradaban yang tinggi.

Bertolak dari berbagai pemikiran dan persoalan fundamen di atas, menunjukan bahwa diperlukan pemahaman secara menyeluruh berkaitan dengan pemahaman filsafat moral bagi generasi muda.

Urgensi Pemahaman Filsafat Moral Bagi Generasi Muda
Pada abad ke-21, kencangnya arus globalisasi semakin terasa menghantam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Tofler, saat ini sedang terjadi pergeseran kekuasaan (powershift) yang menggerogoti setiap pilar sistem kekuasaan lama yang secara mendasar telah dan akan mengubah kehidupan keluarga, bisnis, politik, negara-negara, dan struktur kekuasaan global itu sendiri. Kekuatan, kekayaan, dan pengetahuan menjadi tiga dasar kekuasaan yang menentukan kompetisi global. Sedangkan fenomena globalisasi dalam pandangan Masour Fakih tidak mungkin bisa dihindari karena kolonialisme berwajah baru tersebut tengah bersetubuh dengan berbagai sendi kehidupan manusia, baik aspek ekonomi, politik, budaya, sosial kemasyarakatan, bahkan dalam aspek pendidikan. Berbagai asumsi tersebut mempertegas bawasannya globalisasi merupakan sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Sehingga, kondisi ini menuntut setiap elemen untuk mampu memperhatikan dan melakukan pilihan secara realistis dalam menghadapi ancaman distorsi arus globalisasi yang terus menginvasi kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. 

Dikalangan masyarakat globalisasi setidaknya telah mempengaruhi pola, pandangan, dan visi hidup setiap individu termasuk generasi muda Indonesia. Hal ini ditunjukan oleh potret generasi muda dewasa ini cenderung bermental “inlander” membungkuk di hadapan bangsa lain. Contoh, seorang pemuda yang lebih memilih menghabiskan waktunya dengan berfoya-foya dalam dunia gemerlap malam ketimbang berdiskusi menyikapi kesenjangan sosial di sekitar mereka. So far, hal ini cenderung akan menjauhkan mereka dari realitas-realitas sosial dan pembelajaran hidup yang esensial, seperti halnya berinteraksi, berbagi, dan bersosialisasi. Salah satu aspek penting dalam menyelesaikan berbagai permasalahan diatas ialah melalui pemahaman kembali mengenai urgensi pemahaman filsafat moral bagi generasi muda.

Pemahaman tentang filsafat moral akan mengantarkan generasi muda berpikir radik tentang moralitas dalam kehidupan. Hal ini akan mengantarkan mereka pada pemahaman soal moral. Moral merupakan kebiasaan yang benar dalam pergaulan dan dapat dirumuskan sebagai suatu batasan yang menilai tentang salah atau benar serta baik atau buruk suatu tindakan. Kunci utama penerapan moral bagi generasu muda adalah memperlihatkan sikap sopan santun, rasa hormat terhadap keberadaan orang lain dan mematuhi peraturan serta tatakrama yang berlaku  pada lingkungan tempat kita berada.

Sebagai makhluk sosial, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya manusia mutlak membutuhkan orang lain dalam menjalani hidupnya. Di sinilah, manusia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. moral sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Moral merupakan “pagar” yang mengatur  pergaulan manusia dalam suatu masyarakat. Seseorang yang beretika mampu mengontrol sikap dan tutur katanya terhadap orang lain. Tanpa etika, kita akan dicap sebagai orang yang tidak tahu bertatakrama.

Dalam bersosialisasi di masyarakat, manusia memerlukan pemahaman moral sebagai pedoman dalam berkata, berpikir dan melakukan suatu kebiasaan yang baik untuk dianut sehingga dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Maka dari itu, pemahaman akan filsafat moral dalam kehidupan bertetangga dan  bermasyarakat sangat penting untuk dalam mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.




1 komentar:

Admin PPKn Online mengatakan...

Silahkan masukan dan sarannya di http://warungimpian.blogspot.co.id/