Kita semua tentu
sepakat, generasi muda diarahkan guna menjadi pemuda yang bermoral mulia. Idealisme
keindahan moral pada generasi muda bisa di lihat dari bagaimana dia
berucap,berprilaku,bersopan santun. Sebuah keindahan idealisme akan tumbuh baik
jika di imbangi dengan perilaku baik pula. Namun, apabila kita mencermati
perjalanan hidup bangsa Indonesia beberapa dekade terakhir ini, begitu nampak
bahwa tengah terjadi turbulensi moralitas dalam kehidupan sosial-kultural
masyarakat. Pendidikan yang seharusnya mengemban tugas untuk menghasilkan
generasi yang unggul dan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik.
Nampaknya, hal ini belum berfungsi
sedemikian adanya. Sebut saja, data penilaian Human Development Index (HDI)
tahun 2011. Kualitas pendidikan yang punya korelasi dengan kualitas SDM punya
urutan buruk. Kualitas SDM Indonesia menurut Human
Development Index (HDI) 2011 yang di release November 2011,
ternyata Indonesia berada diurutan ke 124. Selanjutnya, UNESCO pada tahun 2012 melaporkan bahwa Indonesia berada di
peringkat ke-64 dari 120 berdasarkan penilaian Education
Development Index (EDI) atau Indeks
Pembangunan Pendidikan.
Tidak hanya soal
potret rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Globalisasi yang acapkali
ditakrifkan sebagai “dunia tanpa
batasan” memberikan berbagai dampak
yang cukup signifikan terutama penyimpangan moral psikologis masyarakat
Indonesia, khususnya para generasi muda. Eforia globalisasi telah meninabobokan
pemuda dalam jurang serba “instan”. Merunut lebih dalam, mulai terjangkit dan
terjebaknya pemuda dalam sindrom hedonis, menyebabkan implikasi besar yang
menyeret pemuda dalam kerangka berpikir yang dangkal, dan akan menyebabkan
disekuilibrium serta berkurangnya produktivitas pemuda dalam pembangunan
bangsa. Sehingga, tidak berlebihan jika dewasa ini banyak pihak yang menyoroti
karakter generasi muda. Sebut saja, berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan sebanyak 32 persen remaja
usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan
Bandung) pernah berhubungan seks. Tidak hanya itu, berdasarkan
data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2008 saja jumlah pengguna
narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Jumlah 32% nya adalah pelajar dan
juga mahasiswa. Bahkan, selain berbagai data
tersebut kita bisa menemukan berbagai
hal dalam pemberitaan diberbagai media, misal saja kasus beredarnya video mesum
yang melibatkan pelajar, kasus bullying, kasus tawuran antar pelajar, dan berbagai prilaku yang
menunjukan krisis karakter lainnya.
Pernyataan, data, dan
fakta dilapangan, menunjukan bahwa penting kaitannya mewujudkan pembangunan
manusia Indonesia yang seutuhnya. Pembangunan sumber daya manusia secara
komprehensif dan kolaboratif harus dilakukan oleh berbagai entitas masyarakat,
dan salah satunya ialah melalui pendidikan dalam hal ini adalah mengambalikan
arti penting dari filsafat moral bagi generasi muda. Pendidikan mempunyai peran
sangat penting untuk mendidik generasi muda menjadi generasi yang dapat mengentaskan
bangsa Indonesia dari keterpurukan. Dari pandangan tersebut,
berbagai tantangan dan ancaman globalisasi setidak-tidaknya mampu di reduksi
bahkan dibumi hanguskan dengan upaya pendidikan yaitu diantaranya ialah melalui
pemahaman kembali tentang pentingnya filsafat moral bagi generasi muda. Hal ini
dimanifestasikan akan membentuk kekuatan generasi muda (youth power)
yang unggul dan berkarakter yang akan mensejajarkan bangsa ini dengan
bangsa-bangsa lain yang memiliki peradaban yang tinggi.
Bertolak dari
berbagai pemikiran dan persoalan fundamen di atas, menunjukan bahwa diperlukan
pemahaman secara menyeluruh berkaitan dengan pemahaman filsafat moral bagi
generasi muda.
Urgensi Pemahaman Filsafat Moral Bagi Generasi Muda
Pada abad ke-21, kencangnya arus globalisasi semakin
terasa menghantam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Tofler, saat ini sedang terjadi pergeseran
kekuasaan (powershift) yang menggerogoti setiap pilar sistem kekuasaan lama
yang secara mendasar telah dan akan mengubah kehidupan keluarga, bisnis,
politik, negara-negara, dan struktur kekuasaan global itu sendiri. Kekuatan,
kekayaan, dan pengetahuan menjadi tiga dasar kekuasaan yang menentukan
kompetisi global. Sedangkan fenomena globalisasi dalam pandangan Masour
Fakih tidak mungkin bisa dihindari karena kolonialisme berwajah baru tersebut
tengah bersetubuh dengan berbagai sendi kehidupan manusia, baik aspek ekonomi,
politik, budaya, sosial kemasyarakatan, bahkan dalam aspek pendidikan. Berbagai asumsi tersebut mempertegas bawasannya
globalisasi merupakan sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Sehingga,
kondisi ini menuntut setiap elemen untuk mampu memperhatikan dan melakukan
pilihan secara realistis dalam menghadapi ancaman distorsi arus globalisasi
yang terus menginvasi kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Dikalangan masyarakat globalisasi setidaknya telah
mempengaruhi pola, pandangan, dan visi hidup setiap individu termasuk generasi
muda Indonesia. Hal ini ditunjukan oleh potret generasi muda dewasa ini
cenderung bermental “inlander” membungkuk
di hadapan bangsa lain. Contoh, seorang pemuda yang lebih memilih menghabiskan
waktunya dengan berfoya-foya dalam dunia gemerlap malam ketimbang berdiskusi
menyikapi kesenjangan sosial di sekitar mereka. So far, hal ini cenderung akan menjauhkan mereka dari
realitas-realitas sosial dan pembelajaran hidup yang esensial, seperti halnya
berinteraksi, berbagi, dan bersosialisasi. Salah satu aspek penting dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan diatas ialah melalui pemahaman kembali
mengenai urgensi pemahaman filsafat moral bagi generasi muda.
Pemahaman
tentang filsafat moral akan mengantarkan generasi muda berpikir radik tentang
moralitas dalam kehidupan. Hal ini akan mengantarkan mereka pada pemahaman soal
moral. Moral merupakan kebiasaan yang benar dalam pergaulan dan dapat
dirumuskan sebagai suatu batasan yang menilai tentang salah atau benar serta
baik atau buruk suatu tindakan. Kunci utama penerapan moral bagi generasu muda
adalah memperlihatkan sikap sopan santun, rasa hormat terhadap keberadaan orang
lain dan mematuhi peraturan serta tatakrama yang berlaku pada lingkungan tempat kita berada.
Sebagai
makhluk sosial, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri,
artinya manusia mutlak membutuhkan orang lain dalam menjalani hidupnya. Di
sinilah, manusia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bertetangga dan
bermasyarakat. moral sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Moral merupakan
“pagar” yang mengatur pergaulan manusia
dalam suatu masyarakat. Seseorang yang beretika mampu mengontrol sikap dan
tutur katanya terhadap orang lain. Tanpa etika, kita akan dicap sebagai orang
yang tidak tahu bertatakrama.
Dalam
bersosialisasi di masyarakat, manusia memerlukan pemahaman moral sebagai
pedoman dalam berkata, berpikir dan melakukan suatu kebiasaan yang baik untuk
dianut sehingga dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Maka dari itu, pemahaman akan filsafat moral dalam kehidupan bertetangga
dan bermasyarakat sangat penting untuk
dalam mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
1 komentar:
Silahkan masukan dan sarannya di http://warungimpian.blogspot.co.id/
Posting Komentar